Komunikasi dalam Konseling 
(Sebuah tinjauan Bab dari Buku The Counseling experience)

disusun oleh       :  Aam Imaddudin
                             Idat Muqodas
Tahun penulisan :  2010




A.          Abstraksi
Laporan bab ini disusun berdasarkan pada isi bab enam yang bertajuk Communiaction in Counseling, bab ini merupakan bagian dari buku The Counseling Experience. (2nd ed), yang disusun oleh Michael E. Cavanagh dan Justin E. Levitov (2003). Secara umum bab ini menggambarkan mengenai urgensi komunikasi dalam proses konseling. Menurut Cavanagh & Levitov komunikasi merupakan jantung dari hubungan konseling “ communication is the heart of the counseling relationship” (Cavanagh&Levitov, 2002:187).
Proses konseling harus disadari oleh konselor sebagai proses yang dibatasi oleh waktu dan pada hakikatnya proses konseling memiliki perbedaan dengan bentuk-bentuk hubungan kemanusaiaan lainnya. Komunikasi konseling merupakan media perantara yang menjembatani jarak psikologis antara konseli dengan konselor yang membantu efektifitas proses bantuan yang akan diberikan. Komunikasi konseling memiliki beragam tujuan yang spesifik, dibatasi dengan waktu, serta batasan masalah yang dibicarakan.
Selama proses konseling berlangsung secara terbuka, maka, ide dan perasaan bisa terus mengalir diantara konselor dan konseli. Namun, yang menjadi tantangan dalam konteks hubungan konseling  adalah bagaimana konselor dan konseli menunjukan keinginan untuk berbagai dan berdiskusi mengenai ide dan perasaan, baik yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan.
Konselor harus mampu menyadari dan memahami pesan-pesan yang secara terbuka disampaikan oleh konseli, yang terkadang menuntut konselor menyimak lebih dalam, atau dalam konteks tertentu konselor ditantang untuk bisa memahami pesan yang disampaikan oleh konseli. Proses komunikasi konseling yang dilakukan secara terbuka serta dilandasi dengan kepercayaan, empati, dan keinginan untuk mencari jalan penyelesaian mengenai masalah yang sedang dihadapi oleh konseli berkontribusi positif terhadap proses konseling.
Secara keseluruhan pembahasan bab ini terdiri dari dua pembahasan utama yaitu komunikasi konseli, dan komunikasi koselor. Selain itu diperkaya dengan tiga bahasan lain yaitu : permasalahan-permasalahan dalam komunikasi, komunikasi non-verbal, dan teknik diam sebagai salah satu bentuk komunikasi.

B.           Komunikasi Konseli
Konseli berkomunikasi dengan konselor di sejumlah tingkatan tentang berbagai macam topik. Salah satu cara untuk menyusun analisis tingkat ini adalah dengan mengkategorikan mereka ke dalam salah satu dari tiga dimensi dan kemudian untuk lebih membedakan seberapa dekat komunikasi benar-benar mencerminkan internal diri konseli, Struktur ini terdiri dari tiga dimensi yaitu: personal, kontekstual, dan relasional. Tiga tingkat rentang dari komentar yang mencerminkan apa yang dirasakan konseli diharapkan darinya (Tingkat III) komentar bahwa konseli mengungkapkan secara utuh tentang dirinya atau "true self" (Tingkat I).
Menganalisis komunikasi dengan cara ini membantu menjawab pertanyaan konselor, " Pesan apa yang sebenarnya ingin konseli sampaikan kepada saya?" . Hal ini juga mengingatkan konselor bahwa proses komunikasi perlu didekati dari ketiga arah, karena tujuannya adalah membantu konseli berkomunikasi dengan pesan yang tepat pada tiap tingkat dan untuk memajukan dari komentar Tingkat III ke komentar Tingkat I. Masing-masing dimensi dan tingkatan dalam masing-masing akan dibahas dalam bagian berikut.

1.           Dimensi Personal
Dimensi personal konseli merupakan salah satu pesan konseli dalam rangka memberikan pemahaman kepada konselor mengenai diri konseli sendiri. Pesan-pesan ini terbentuk pada tiga tingkat yang berbeda dan mereka dapat mengetahui benar atau salah di tingkat manapun juga.
a.      Pesan Tingkat III.
       Pesan Tingkat III berkata, "Inilah apa yang kamu pikirkan tentang aku." Sebagai contoh, seseorang dapat berkomunikasi dengan perilakunya, "Aku ingin kau berpikir bahwa saya orang yang sangat kooperatif." Jika pesan akurat (yaitu, orang itu benar-benar koperatif), tidak akan ada masalah yang timbul. Tetapi jika pesan tersebut palsu, maka konselor akan memahaminya dalam perspektif tersebut dan konseli akan melonak proses konseling. Kekuatan psikologis yang kurang atau kekuatan ego orang-orang, semakin besar kemungkinan mereka akan mengirim pesan palsu pada Tingkat III, tidak hanya dalam konseling tetapi pada aspek lain dari kehidupan mereka. Kepalsuan pada Tingkat III karena pesan tidak didukung oleh perilaku yang sebenarnya, konflik akan muncul bagi konseli dan bagi mereka yang percaya pesan palsu tersebut.
Konselor bisa bertanya pada diri sendiri selama sesi, "Orang ini jelas ingin dipandang sebagai koperasi (atau cerdas, bodoh, baik hati, kuat, lemah, dll). Apakah konseli ingin aku percaya ini karena memang benar atau karena percaya itu membantu konseli menghindari kenyataan yang menyakitkan atau sulit? "
Pesan Tingkat III, seperti semua pesan, dapat dikirim secara sadar atau tidak sadar, dan jelas atau halus. Ketika pesan palsu dikomunikasikan secara tidak sadar dan secara halus, dibutuhkan konselor yang sangat waspada untuk melihatnya. Ketika konselor belajar bahwa mereka telah disesatkan oleh konseli, sering kali karena mereka percaya bahwa pesan pada Tingkat III palsu. Jika konselor secara teratur melihat pesan Tingkat III palsu mereka harus mengevaluasi tingkat keterlibatan antara konselor dan konseli untuk menentukan apakah hubungan terapeutik akan bertahan lama untuk konseli agar dapat lebih jujur dan untuk membicarakan isu-isu di tingkat yang lebih dalam. Itu tidak akan bijaksana untuk mengkritik konseli untuk pernyataan-pernyataan palsu, karena kebutuhan konseli untuk memalsukan informasi dapat mengatakan lebih lanjut tentang kualitas hubungan terapeutik daripada mengungkapkan tentang konseli.
b.      Pesan Tingkat II.
Pesan pribadi pada tingkat II yaitu, "Inilah yang saya pikirkan tentang saya." Hal ini mencerminkan bahwa konseli memiliki citra diri mereka sendiri, apakah sesuai atau tidak sesuai. Jika informasi ini sesuai, tidak ada masalah akan timbul. Jika tidak sesuai, masalah dapat terjadi baik di dalam dan di luar konseling. Contoh pesan Tingkat II adalah "Saya memiliki kecerdasan yang unggul," "Saya orang yang baik," "Saya membosankan," atau "saya adalah neurotik."
Konseli sering mempunyai citra diri (self-image) yang tidak akurat yang secara sadar atau tidak sadar menyebabkan mereka lebih membutuhkan beberapa destruktif. Sebagai contoh, seseorang mungkin berpikir dia cerdas bukan karena dia, tapi karena ia perlu berpikir mengenai dirinya. Selama ia berpikir ia cerdas, ia bisa menyalahkan masalah pada ketidaktahuan orang lain. Dengan prinsip yang sama, selama seseorang melihat dirinya dalam ketidak berdayaan, dia tidak perlu keluar dari kebiasaan hidupnya.
Konselor harus konsisten mempertanyakan validitas pesan Tingkat II. Konseli sebagai komunikan berkata "Saya pikir, saya semacam….." mungkin memerlukan perasaan karena ia perbedaan aktulasisasi. Jika konselor percaya pesan palsu, permasalahan konseli mungkin diabaikan oleh konselor atau label sebagai sesuatu yang berbeda, karena orang-orang seperti itu jelas tidak berperilaku bermusuhan.
c.       Pesan tingkat I.
Pada tingkat I ini bentuk pesannya adalah, "siapakan aku ini." Hal ini mencerminkan hakikat orang pada waktu itu. Dengan kata lain, jika seseorang takut, ia akan mengkomunikasikan "Aku takut." Orang dengan kecerdasan sederhana akan mengkomunikasikan "Aku lebih baik menurunkan aspirasi." Orang yang marah akan mengkomunikasikan "Aku marah. Mungkin aku tidak seharusnya, tapi aku."
Sementara konselor tidak perlu untuk membantu konseli yang berada pada tingkat ini untuk menjadi lebih sesuai dalam komentar mereka, konselor perlu membantu dan mendukung konseli sebagai reaksi konseli terhadap kesesuaian tujuan pada tingkat ini.
d.      Pesan konsonan dan disonan.
Orang yang sehat secara psikologis, ketiga pesan akan berada pada tingkat konsonan. Gambarannya adalah sebagai berikut:
Tingkat III A   Aku ingin kau berpikir bahwa aku takut.
Tingkat II  A   saya pikir saya takut.
Tingkat I   A    aku takut.
            *Huruf A menandakan bahwa ketiga pesan sesuai.

Orang yang memiliki kesehatan psikologis kurang cenderung pesan akan berupa disonan. Diagram berikut ini mencerminkan beberapa kombinasi yang dapat terjadi. Penandaan tulisan akan memperjelas perbedaan dalam pesan.
Tingkat III B   saya ingin Anda berpikir bahwa saya cukup bahagia.
Tingkat II  B   Saya pikir saya cukup bahagia.
Tingkat I    A   Saya sedang tertekan.
Tingkat III B   Saya ingin Anda berpikir bahwa saya tidak marah dengan Anda.
Tingkat II  A   Saya pikir saya marah pada Anda.
Tingkat I   A    Saya marah pada Anda.

Tingkat III C   Aku ingin kau mengira aku tidak punya masalah seksual.
Tingkat II  B   Saya merasa memiliki permasalahan seksual.
Tingkat I   A    Saya mengalami perasaan-perasaan homoseksual yang kuat.

Tidak peduli seberapa banyak atau sedikit kesehatan psikologis orang-orang, mereka akan berkomunikasi dengan cara yg sesuai ketika berhadapan dengan isu-isu tidak berbahaya. Namun, semakin kecil kekuatan psikologis yg seseorang miliki dan semakin mengancam masalah, semakin besar kemungkinan pesan yg tidak sesuai.
Implikasi untuk konseling yang jelas. Konselor dapat mengklasifikasikan atau peringkat komentar konseli di salah satu dari tiga tingkatan: Dugaan-dugaan yg lain, persepsi diri yg ideal, dan persepsi diri yg akurat. Karena konselor memperoleh pengalaman dan meningkatkan ketrampilan mereka, mereka menjadi lebih mampu menentukan keakuratan pesan konseli Tingkat II dan Tingkat III. Kemampuan konselor untuk benar mengklasifikasikan komentar konseli dan untuk menetapkan keakuratan pesan Tingkat II dan pesan Tingkat III memiliki implikasi kuat terhadap nilai-nilai pengobatan. Kebanyakan konseli menawarkan pesan yg tidak sesuai ketika mereka mendiskusikan terapi lebih serius dan masalah-masalah penting dalam hidup mereka, sehingga memperbaiki ketidaksesuaian pesan konseli dalam membantu konseli memperoleh kesadaran diri yg lebih akurat. Lebih sederhana menyatakan, salah satu tujuan dari konseling adalah untuk meningkatkan pemahaman konseli terhadap dirinya sendiri mengenai masalah-masalah tertentu dalam hidupnya dengan mengurangi jumlah pesan yg tidak sesuai berkaitan dengan masalah tersebut.

2.           Dimensi kontekstual
Pesan kontekstual berurusan dengan isi pesan. Ada tiga tingkatan pesan kontekstual.
a.           Pesan Tingkat III.
Berkomunikasi pesan konstektual tingkat III, "Ini adalah apa yang saya tahu mengenao kau mungkin ingin aku bicarakan." Sementara para konseli masuk konseling dengan beberapa gagasan tentang apa yang konselor akan ingin mereka bicarakan, dari waktu ke waktu mereka belajar topik apa yg konselor kemukan untuk menolong. Tema Favorit konselor biasanya mencerminkan pemikiran teoritis konselor, klinis, profesional, dan bias pribadi. Sebagai contoh, sementara seorang konselor mungkin cenderung untuk menilai diskusi dari asumsi cognotif konseli dan cara berpikir konseli tentang isu-isu penting, konselor lain mungkin mengejar diskusi emosional konseli dengan mengulang peristiwa dan tindakan untuk mengecualikan masalah-masalah kognitif sepenuhnya. Konselor yg berbeda mungkin berfokus pada emosi, masalah masa kecil, mimpi, kognitif asumsi, pola komunikasi, dan sebagainya. Sayangnya, konseli mungkin secara sadar dan tanpa sadar mengejar topik yg mereka pikir konselor lebih suka, rasionalisasi bahwa konselor "harus tahu apa yang mereka lakukan," ketika topik-topik lainnya akan jauh lebih bermanfaat bagi mereka untuk mengeksplorasinya.

b.      Pesan Tingkat II.
Pesan kontekstual tingkat II yg mengikuti tema, "Inilah yang ingin saya bicarakan." Walaupun topik ini berkisar dari jinak ke sangat menyakitkan mereka sering disajikan dengan akrab dan aman; konseli mereka dolatih secara menyeluruh bahwa mereka tidak lagi berkomunikasi dengan pikiran dan perasaan yg terdalam. Konseli menawarkan topik ini lebih sebagai skrip untuk dibaca sebagai pengalaman pribadi untuk dibagikan daripada sebagai perasaan emosi yg tedalam. Daerah psikologis yang mencakup script mungkin perlu perhatian. Konselor dapat membantu konseli membuang skrip dan berkomunikasi tentang daerah yang lebih spontan, tidak defensif jalan; atau, jika daerah mencakup naskah tidak terlalu penting saat ini, konselor dapat membantu konseli dalam pergeseran perhatian yang lebih produktif, seringkali lebih mengancam, tema.

c  .       Pesan Tingkat I.

Berkomunikasi dengan pesan konstekstual pada Tingkat I, "Ini adalah apa yang saya perlu bicarakan." Topik ini berurusan dengan lapisan terdalam, terluka, takut, marah, rasa bersalah, kebingungan, dan keputusasaan dan akhirnya harus berurusan dengan jika konseli terpengaruh efek perubahan signifikan dalam perilaku mereka.
Konselor yang efektif menerima bahwa tahap awal konseling serong kalo dengan  Tingkat III dan pesan konstektial Tingkat II. Konseling Tingkat III cenderung dimulai dengan komunikasi karena konseli lebih siap untuk sosial daripada untuk komunikasi terapeutik. Fakta ini menimbulkan pertanyaan tentang kegunaan awal pesan kontekstual kloen (kita akan mengacu ke pesan awal ini sebagai konseli "cerita"). Cerita harus secara hati-hati dieksplorasi, meskipun mungkin menyarankan sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang benar-benar mengganggu konseli, karena cerita konseli berisi petunjuk-petunjuk dari semua jenis. Beberapa petunjuk mengungkap lebih dalam, lebih penting adalah menggugat, sementara yang lain mengungkapkan mekanisme pertahanan konseli. Dengan demikian, beberapa cerita pada akhirnya akan dilupakan karena konseli bergerak lebih dalam proses konseling karena sebenarnya cerita tersebut merusak dari  masalah yg lebih penting, tapi beberapa cerita menghasilkan tema cerita-cerita lain yang tetap dilakukan pada seluruh pengobatan. Dalam hal lain, konselor perlu hati-hati mengeksplorasi cerita: ini adalah pada awal pesan kontekstual yang ditawarkan oleh konseli, dan mungkin inilah yang paling penting.
Sebagai kemajuan konseling, konseli sering berganti-ganti antara Level III dan level II. Sesi ini diisi dengan dialog, tapi yang penting topik Tingkat I jelas hilang. Ini adalah tahap yang sangat menantang untuk konselor karena bila pada kenyataannya secara keliru dapat menandakan bahwa komunikasi yg mudah dan hubungan yg baik telah dibuat , konseli akan terus mempertahankan diri melibatkan isu-isu sulit dengan (1) menawarkan topik-topik yang mereka inginkan, bukan kebutuhan, membicarakan atau (2) mendiskusikan masalah-masalah yang mereka telah tentukan agar  menjadi yang menarik bagi konselor.
Kebanyakan orang memiliki koleksi nyaman topik yang mereka ingin bicarakan. Tema-tema ini biasanya mudah bagi konselor untuk mengidentifikasi karena mereka sering menggambarkan konseli dengan cara yang konsisten (tidak harus positif atau negatif) dengan cara konseli melihat diri mereka sendiri. Untuk sebagian besar, konselor memiliki sedikit kesulitan untuk memindahkan fokus ke topik yang lebih produktif. Di sisi lain, konselor kurang sensitif untuk mengidentifikasi topik-topik yang telah diduga konseli menjadi penting bagi konselor. Hal ini karena konselor senang; daripada terganggu, ketika konseli tampaknya untuk merangkul ide-ide atau asumsi-asumsi yang konsisten dengan konselor. Konselor secara keliru menafsirkan kesesuaian fokus sebagai tanda positif bahwa konseli berkembang dalam hubungan konseling nyata. Konseli tidak berkembang; konseli hanya menyesuaikan diri dengan konselor. Terlalu banyak pertanyaan pada bagian konselor sering harus disalahkan atas kondisi ini.
Ironisnya, pertanyaan yang sangat spesifik seringkali mengungkapkan informasi lebih lanjut tentang konselor daripada yg mereka peroleh tentang konseli. Sebagai contoh Konselor yang sering dan eksklusif ditanya konseli tentang dinamika keluarga terkejut melihat bahwa konseli ini tidak pernah berbagi informasi penting tentang bidang-bidang penting lainnya dalam hidupnya. Konseli itu adalah seseorang yang putus asa memandang kepada orang lain untuk mendukung dan arah dan dengan cepat menyimpulkan asumsi konselor tentang kehidupan dan perilaku dari pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan padanya, dan pada dasarnya konselor memberikan apa yang dia yakini dia ingin dengar. Ironisnya, konselor merasa sangat senang dengan kualitas interaksi. Dia merasa mereka berdua pada "bagian yang sama 'dan tidak pernah merasakan kesulitan dengan cara mereka berhubungan satu sama lain. Lagi pula, konseli memegang asumsi identik dengan miliknya, tanpa mereka pernah mengalami berbicara tentang penelitian eksklusif konselor  dan kepentingan klinis dalam dinamika keluarga. Contoh ini menawarkan pelajaran sebagai berikut: jika konseli tampaknya menikmati tingkat komunikasi dan pengalaman sedikit atau tidak ada kecemasan, kemungkinan bahwa topik ini mungkin bukan salah satu daerah atau tema-tema yang konseli perlukan. Di sisi lain, jika fokus perubahan konselor ke suatu daerah yang tampaknya penting tetapi telah mencolok kehadiran dari sesi dan emosi konseli bereaksi terhadap suatu perubahan, Komunijasi Tingkat I  mungkin telah menyinggung.

3.           Dimensi relasional
Dimensi relasional berhubungan dengan mengirim pesan mengenai pandangan konseli tentang konselor. Untuk melihatnya, kita memerlukan tiga tingkatan..
a.           Pesan Tingkat III.
Ini mungkin yang paling membingungkan  untuk dimengerti. Pada dasarnya pesan-pesan ini terjadi ketika konseli menebak-nebak bagaimana koselor mereka ingin dirasakan oleh mereka. Dinyatakan secara lebih ringkas, tapi agak kurang jelas, sebuah pesan relasional Tingkat III adalah, "Inilah yang saya ingin Anda berpikir bahwa saya pikir Anda ada "Salah satu contoh dari jenis pesan," Aku ingin kau berpikir bahwa saya pikir Anda koselor yg sangat kompeten  dan bahwa aku sangat beruntung bisa melihat Anda. "Dinamika pendukung pernyataan ini bisa untuk membujuk bantuan guru pembimbing sehingga ia akan memperlakukan konseli dengan baik dan lembut dan tidak menimbulkan kecemasan dengan tingkat yg signifikan.
Contoh lain adalah, "Aku ingin kau berpikir bahwa saya pikir anda adalah arogan, tidak peduli orang yang membantu karena itu membuat Anda merasa lebih berharga dan memberi Anda penghasilan yang bagus. "Dinamis yang mendasar di sini bisa untuk menjaga konselor di kejauhan sehingga konselor tidak bisa cukup dekat dengan konseli untuk memulai pembicaraan rawan.
Sadar dan tidak sadar, pesan relasional Tingkat III sering mendominasi tahap awal konseling. Hal ini tidak mengherankan karena interaksi sosial mengandung banyak Tingkat III-seperti pesan, melainkan hanya untuk diharapkan bahwa hal ini akan membawa ke konseling. Konselor yang efektif mengenali pentingnya tidak ditipu oleh pesan ini, tetapi mereka juga harus mengerti bagaimana membuat penggunaan informasi yang terkandung di dalamnya. Konseli kedua bereaksi terhadap konselor dan memproyeksikan ke konselor. Awal usaha untuk membedakan dengan benar reaksi jujur konseli kepada konselor,dari proyeksi konseli ke konselor berkontribusi pada peningkatan kesadaran diri konseli dan sekaligus meningkatkan kerjasama terapeutik.
Satu petunjuk untuk Respon Tingkat III adalah bahwa Perasaan klien sedikit menyatakan tekanan terhadap konselor, jika ada, dasar dalam realitas. Sebagai contoh, seorang wanita mungkin mengatakan padanya konselor hanya setelah empat sesi, "Aku tidak bisa memberitahu Anda betapa jauh lebih baik saya merasa tentang diriku sendiri karena bantuan Anda. "Atau orang mungkin mengatakan setelah beberapa sesi," aku ingin membawa beberapa konflik agama Saya mengalami, tapi saya dapat memberitahu Anda bukan banyak orang yang menempatkan saham dalam agama. "Ketika klien lebih mengembangkan kekuatan psikologis dan kepercayaan, ia akan secara bertahap tertarik untuk ke Tingkat II dan akhirnya ke pesan relasional Tingkat I. Transisi ke tanggapan Tingkat II dapat digembar-gemborkan oleh kesadaran klien bahwa banyak dari apa yang dia simpulkan tentang konselor itu lebih merupakan fungsi dari apa yang klien butuhkan dari konselor untuk dipandang menjadi klien lebih dari yg diasumsikan konselor.
b.      Pesan Tingkat II.
Sebuah pesan relasional Tingkat II didasarkan pada siapa yang diinginkan klien atau kebutuhan untuk menjadi konselor. Klien cenderung untuk membesar-besarkan kemampuan dan keterampilan konselor baik yang positif atau negatif. Sebagai contoh, klien mungkin bertanya, " Saya yakin bahwa Anda tahu apa yang harus saya lakukan, jadi kenapa tidak kau katakan padaku?" Pertanyaan ini, dan lain-lain seperti itu, mengatakan volume tentang harapan orang dan, secara tidak langsung, harapan mereka sendiri. Selain itu, karena pesan relasional Tingkat II berisi pemindahan informasi, keterampilan konselor dapat menggunakan informasi yang diperoleh pada tingkat konunikasi ini untuk menggali banyak isu-isu penting klien.
c.       Pesan tingkat I.
Pesan relasional Tingkat I mengungkapkan bagaimana sebenarnya klien mempersepsikan konselor. Dengan kata lain klien membertahukan konselor, "Inilah yang benar-benar saya pikirkan tentang  Anda." Pesan-pesan ini terdiri dari pikiran yang benar dan emosi bahwa klien telah mengenai konselor. Ide dan perasaan dapat bernilai positif, negatif, atau dipinjamkan, tetapi mereka tulus dan ditawarkan kepada konselor mungkin membantu dalam proses pertumbuhan. Sesi konseling yang mengandung banyak pesan relasional  Tingkat I menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan yang tepat antara konselor dan klien telah dikembangkan dan bahwa hubungan konseling adalah cukup kuat untuk secara efektif mengelola berbagai emosi yang adalah sebagai diassosiasikan dengan sangat jujur dalam pengungkapan dan wawasan.

C.      Komunikasi konselor
Kita telah membahas beberapa cara umum bahwa klien berkomunikasi dengan konselor. Bagian sebelumnya juga termasuk saran umum tentang bagaimana memperbaiki kesulitan komunikasi verbal dan nonverbal klien. Bagian ini lebih focus pada pembahasan mengenai keterampilan komunikasi tertentu yang dibutuhkan oleh konselor perlukan dalam berinteraksi dengan konseli secara produktif.
Komunikasi konselor telah dianalisis oleh berbagai penulis, secara umum unsur-unsur komunikasi konselor menunjukan ciri-ciri yang sama di seluruh literature yang ada. Bila ditemukan perbedaan, maka hal tersebut selalu terjadi karena penulis tertentu menekankan keterampilan tertentu dibandingkan dengan penulis lainnya. Salah satu contoh dari kesamaan dapat diilustrasikan dengan membandingkan dua karya yang berbeda: Cormier dan Cormier (1991) dan Egan (1994) membagi komunikasi konselor menjadi dua bahasan utama yaitu: listening responses (yang terdiri dari kemampuan klarifikasi, parafrase, refleksi, dan ringkasan) dan action responses (yang terdiri dari kemampuan probing, konfrontasi, interpretasi, dan memberi informasi). Konselor mempergunakan delapan respon komunikasi yang berbeda dalam analisis ini. Egan membahas empat dasar keterampilan komunikasi (penghampiran, mendengarkan, empati, dan probing) dan beberapa keterampilan yang menantang (misalnya, kemajuan berempati dan konfrontasi). Kedua model komunikasi konselor menunjukan persamaan yang jelas, dan perbedaannya hanya tidak begitu mencolok.
Doyle (1998) mengkhususkan banyak keterampilan yang sama tetapi mengatur mereka di sekitar apa yang ia gambarkan sebagai peran konselor dan sub-peran. Melihat unsur-unsur komunikasi konselor dengan cara ini penjaga melawan atas pandangan disederhanakan dalam prosesnya. Sebelum memperkenalkan berbagai tanggapan yang digunakan konselor dalam konseling klien, Doyle menjelaskan sifat-sifat pribadi dan kemampuan konselor perlukan untuk bekerja secara efektif. Sementara ia mencakup jenis utama tanggapan (misalnya, refleksi, parafrase), ia juga menekankan pentingnya peran mengasumsikan orang yang mendengarkan dengan sunguh-sungguh dan mengikuti yang lain. Tuntutan efektivitas tenik konseling yang baik dan ketidak-ketulusan akan cukup tanpa yang lain. Keterampilan komunikasi (sub-peran) ditempatkan dalam salah satu dari tiga kategori utama: (1) peran utama, (2) peran menengah, dan (3) peran maju. Setiap peran utama yang berbeda sesuai dengan tahap terapi. Peran utama digunakan untuk menetapkan hubungan konseling, agar berisi keterampilan mendengarkan sub-peran. Setengah jadi mencakup sub peran yang dapat digunakan untuk berbagi informasi dengan klien, untuk pertanyaan atau untuk menggali informasi klien, untuk mengelola pertanyaan klien, untuk menangani dengan diam, dan untuk mendirikan hubungan konseling. Peran menengah digunakan untuk lebih mendefinisikan hubungan konseling, untuk mengidentifikasi masalah, dan untuk mengenali bagaimana keheningan dapat digunakan secara efektif. Peran lanjutan berisi sub-peran yang mempekerjakan konselor untuk membantu klien mengembangkan alternatif, untuk mendorong klien untuk bertindak, untuk menilai kemajuan, dan untuk mengintegrasikan perubahan. Keterampilan dan peran yang disajikan bersama dalam rangka untuk menekankan sebelumnya mencatat hubungan antara keterampilan konselor dan orang dari konselor.
Model komunikasi yang dibahas dalam bab ini mengacu pada model Brammer dan MacDonald's (1999:70). Pemilihan tujuh kelompok keterampilan yang digagas oleh Brammer dan MacDonald's karena mengandung berbagai macam tanggapan konselor. Bahkan, susunannya yang ditawarkan begitu inklusif sesuai dengan konseling untuk teori tertentu dapat dicapai dengan menggunakan beberapa atau semua dari berikut ini:
1. listening skill (keterampilan menyimak)
2. leading skill (keterampilan memimpin)
3. reflecting skill (keterampilan merefleksi)
4. challenging skill (keterampilan dalam menantang)
5. interpreting skill (keterampilan menafsirkan)
6. informing skill (keterampilan menjelaskan)
7. summarizing skill (keterampilan meringkas)

Konselor yang efektif, terlepas dari teori tertentu yang biasa digunakan, mereka harus mampu menguasai masing-masing tujuh ketermapilan di atas. Sementara dalam beberapa teori konseling mungkin menekankan satu keahlian di atas yang lain, namun pada hakikatnya tujuh keterampilan di atas, semuanya penting untuk dikuasai oleh konselor.
Secara umum, keterampilan ini digunakan untuk mengumpulkan informasi, menegaskan masalah, menyampaikan empati, memotivasi klien untuk mengejar wawasan atau perasaan yang lebih mendalam, mengembangkan alternatif, menafsirkan pengalaman, berbagi emosi, dan mengambil tindakan. Seperti yang kita bahas masing-masing bidang keahlian kami akan menyertakan berbagai tanggapan konselor, beberapa diambil dari Brammer dan MacDonald (1999), yang lain dari Cormier dan Cormier (1991), Egan (1994), dan Doyle (1998). Akan sangat berguna juga referensi berkonsultasi ini secara langsung karena tidak menggambarkan salah satu dari mereka sepenuhnya.




1.                  Listening Skills (kemampuan menyimak)
Brammer dan MacDonald membahas lebih luas mengenai kemampuan menyimak dibandingkan dengan kelompok keterampilan lain, karena kemampuan untuk menyimak merupakan kemampuan yang paling penting dan mendasar dari keterampilan komunikasi konseling lainnya. Tanpa kemampuan ini, konselor tidak akan mampu untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk menentukan kekuatan, kelemahan, dan masalah klien, dan akan mustahil untuk membentuk dan menjaga hubungan konseling atau mengukur efektivitas upaya bantuan konselor terhadap konseli. Maka tidaklah mengherankan jika konselor mungkin menghabiskan sebagian besar waktu dalam sesi konseling untuk menyimak dan mendengarkan konseli. Ironisnya, manusia biasanya merasa sangat kesulitan untuk mendengarkan secara efektif. Pelatihan , ketekunan, dan kemauan untuk mengeksplorasi masalah-masalah pribadi yang mungkin menghalangi kemampuan untuk bisa  konselor adalah semua prasyarat. Imbalan diperoleh dengan keterampilan mendengarkan yang lebih baik dari upaya menginvestasikan pembelajaran untuk mendengarkan secara efektif. Ketika konselor dengan hati-hati dan secara konsisten hadir kepada klien, yang terakhir tidak hanya menanggapi perhatian yang diberikan kepada mereka (hasil dari konselor menempatkan mereka di tengah-tengah hubungan terapeutik), tetapi juga mulai mendengarkan diri mereka sendiri dengan lebih efektif. Dengan kata lain, keterampilan mendengarkan yang konselor gunakan untuk berkomunikasi menyampaikan konselor positif terhadap klien, sementara pada saat yang sama menawarkan model yg berguna untuk mendengarkan dengan efektif yg klien adopsi. Keuntungan gabungan meningkatkan kesadaran pribadi klien dan kemampuan klien untuk waspada terhadap orang lain. Cepat, kehidupan yang penuh gangguan dan terbatasnya waktu luang membuat sangat sulit bagi orang untuk menemukan diri dalam lingkungan di mana seseorang dapat sepenuhnya mendengarkan mereka. Bagi banyak orang, sesi konseling mungkin merupakan pertama kalinya bahwa setiap orang telah mendengarkan mereka cukup mendalam dan cukup lama untuk bisa membantu. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan yang membantu membedakan jenis mendengarkan yang ditemukan dalam sesi konseling dari komunikasi sehari-hari dengan orang lain.

2.       Listening and hearing (menyimak dan mendengarkan).
Penting untuk membedakan antara menyimak dan mendengarkan. Seorang konselor bisa mendengar semua perkataan orang-orang dalam satu sesi dan tidak menyimak sepatah kata pun. Mendengar adalah penerimaan suara secara fisiologis. Seseorang bisa mendengar hujan, tawa anak-anak, atau bahkan suara kereta api. Berbeda dengan mendengarkan, menyimak merupakan proses penerimaan fisiologis yang dikuatkan dengan pemahaman secara psikologis. Mendengarkan adalah proses yang relatif sederhana, akan tetapi proses menyimak bisa sangat rumit. Orang jarang membuat penghalang untuk mendengarkan, tetapi mereka sering membuat penghalang untuk bisa menyimak.
Berikut ini adalah contoh perbedaan antara menyimak dan mendengarkan. Seorang wanita memulai sesi konseling dengan pernyataan, "Wah, aku senang berada di sini." Konselor menjawab, "Yah, itu bagus. Apa yang harus kita berbicara tentang hari ini?" pernyataan wanita tersebut menunjukan suatu peristiwa yang ingin dibicarakan dengan konselor, akan tetapi tanggapan konselor menunjukkan bahwa walaupun ia mungkin telah mendengar apa yang wanita tersebut katakan, namun konselor tersebut tidak menyimak pesan apa yang disampaikan. Jika konselor tersebut mampu menyimak, maka konselor akan bertanya pada dirinya sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut:
·      apakah ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia senang berada di sini? mengapa dia tidak begitu saja merasa senang berada di sini? mengapa dia pergi mengumumkan kesulitan itu?
·     jika dia senang berada di sini, di mana dia tidak merasa senang, apakah ketika bersama suaminya, anak-anaknya, pekerjaannya, dirinya sendiri?
·    apakah dia mengatakan ini sebagai tanggapan terhadap pernyataan saya selama sesi terakhir kami bahwa ia tampaknya kehilangan minat dalam konseling?
·      apakah dia akhirnya mulai merasa nyaman dalam proses konseling dan menurunkan resistensinnya?
·    apakah dia melunakkan hati saya untuk sesuatu yang dia inginkan beberapa umpan balik dalam sesi konseling yang akan dilakukan?
·     atau apakah ia hanya benar-benar senang berada di sini?

Ungkapan sederhana dari konseli seperti ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana seharusnya seorang konselor menyimak dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang dirujuk dari proses menyimak yang dilakukan oleh konselor. Pernyataan-pernyataan dalam komunikasi konseling pada hakikatnya menunjukan kompleksitas psikologis dan gramatikal yang cukup rumit. Hal ini dikarenakan konseli menyampaikan pesan kepada konselor tidak secara langsung, sehingga konselor harus mampu menyadari bahwa sesederhana apapun perkataan konseli, memungkinkan banyak makna, atau peristiwa yang bisa digali lebih dalam oleh konselor untuk menunjang proses konseling yang dilakukan.
Namun pada kenyataannya seorang konselor tidak bisa menyimak secara keseluruhan pesan yang disampaikan oleh konseli, dalam setiap sesi dimungkinkan seorang konselor melewatkan beberapa pesan yang tidak mampu disimak dengan baik. Namun demikian seiring dengan pengalaman, seorang konselor mampu lebih selektif, menyimak lebih fokus terhadap beberapa pernyataan konseli, namun tetap menyimak secara keseluruhan apa yang disampaikan oleh konseli.
Sebagai contoh, jika wanita dalam contoh sebelumnya mulai setiap sesi dengan komentar, mungkin tidak berarti banyak. Namun, jika wanita tersebut jarang atau tidak pernah memulai sesi dengan cara ini, konselor mungkin akan memperkirakan semua kemungkinan yang disebutkan. Konselor dapat kemudian memilih pertanyaan-pertanyaan untuk menindaklanjuti, baik dengan segera menanggapi wanita atau dengan menggunakan pertanyaan yang lebih masuk akal dalam setiap sesi yang dilakukan.

a.        Fungsi Menyimak
Menyimak menjadi landasan dari pencapaian tujuan konseling. Pada dasarnya, seorang konseli datang kepada konselor bukan hanya untuk didengarkan, akan tetapi ingin secara utuh disimak. Mungkin saja konseli sering berbicara  dengan teman, saudara, orang tua, akan tetapi semuanya jarang bisa menyimak dengan objektif, karena mereka terlibat dengan kesulitan yang dirasakan oleh konseli, kalaupun mereka mampu menyimak, maka mereka sering lebih suka mendengarkan untuk sesuatu yang menyenangkan bukan masalah. Oleh sebab itulah seseorang mencari layanan konseling, karena mereka tidak berhasil menemukan orang lain yang dapat dan bersedia untuk menyimak dan mendengarkan mereka atau orang-orang yang mereka temukan tidak lagi bersedia atau mampu melakukannya.
Menyimak merupakan hal yang penting, karena individu pada dasarnya perlu juga mendengarkan dengan jelas apa yang mereka katakan. Pikiran dan perasaan-perasaan menjadi solid dan lebih nyata ketika hal tersebut diucapkan. . Orang-orang dapat mendapatkan pegangan pikiran dan perasaan mereka dan memilih untuk melakukan sesuatu yang konstruktif atau menolak hal tersebut karena tidak valid dan mencari yang lebih valid. Ketika orang berbicara dengan jelas dan tahu bahwa mereka tidak hanya didengarkan, tetapi juga disimak, secara tidak langsung mereka diperkenalkan kepada diri mereka sendiri. Sudah lazim dalam konseling bagi seseorang untuk berkata, "Aku tidak pernah tahu aku merasa seperti itu, tapi sekarang aku mengatakannya, saya mungkin akan melakukannya." Ketika konselor menyimak dan mendengarkan, maka mereka memfasilitasi konseli untuk menjadi seutuhnya diri mereka.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa menyimak dan mendengarkan konseli penting dilakukan, karena hal tersbut dapat mengajarkan konseli untuk menyimak dan mendengarkan. Salah satu masalah yang dapat membawa orang ke dalam proses konseling adalah ketidakmampuan untuk menyimak dan mendengarkan dengan baik diri sendiri atau orang lain. Pada tahap pertama konseling, orang biasanya banyak bicara, tapi sangat sedikit mendengarkan. Konselor dengan kemampuan menyimak dan mendengarkan konseli mampu mengantarkan konseli mengidentifikasi area kelemahan dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki hal itu. Menyimak dapat diajarkan baik dengan cara yang tidak langsung yaitu melalui pemodelan dan bimbingan langsung oleh orang-orang dalam bagaimana mengembangkan interpretasi alternatif untuk pesan-pesan dan kemudian bagaimana mengevaluasi mereka. Ketika konseli melakukan proses menyimak dengan efektif, mereka akan terhindar dari permasalahan dalam hidup mereka.

b.        Hambatan Dalam Menyimak
Keuntungan konselor yang besar dari hati-hati mempelajari hambatan-hambatan umum untuk menyimak secara efektif. Egan (1998:75-79) mengidentifikasi delapan hambatan yang mempengaruhi hampir setiap konselor, hal tersebut adalah :
1.  menyimak dengan tidak tepat: para konselor atau terkecoh dan terganggu oleh pikiran atau  
    reaksinya sendiri .
2. menyimak secara evaluatif:  konselor menilai apa yang sampaikan oleh konseli sebagai bentuk 
    penghampiran konseli.
3.  menyimak dengan selektif (menyaring pesan): konselor menyaring apa yang dikatakan oleh konseli dengan menggunakan filter budaya , politik, profesi, atau filter pribadi konselor.
4.  penggunaan label sebagai penyaring: para konselor melihat klien bukan sebagai pribadi tetapi sebagai label diagnostik (misalnya, "depresi").
5. menyimak fokus pada fakta bukan focus pada individu: pertanyaan konselor terhadap klien dalam usaha untuk mendapatkan fakta sebanyak mungkin tanpa pernah mengembangkan tema dan pola-pola yang membuat terapi fakta-fakta yang berguna.
6. latihan Defensif : konselor terlibat dalam sebuah dialog internal (mengulangi apa yang harus dikatakan) sementara klien berbicara.
7.   menyimak dengan bersimpati: konselor menjadi terhubung secara emosional sehingga konselor ikut larut dalam rasa sakit yang dirasakan oleh konseli yang menyebabkan konselor tidak mampu untuk membantu konseli.
8.    Menyela: respons konselor yang memberikan batasan  atau menghentikan konseli.

Konselor tetap rentan untuk memasang hambatan ini sepanjang perjalanan kehidupan profesional mereka. Sementara konselor pemula lebih rentan terhadap masalah kemampuan menyimak. Namun demikian, apapun tingkat keahliannya seorang konselor dapat terganggu oleh masalah pribadi dan bereaksi terhadap sebagian konseli dengan cara yang kemampuan mendengarkan yang tumpul. Beberapa penghalang yang lebih umum untuk menyimak dengarkan dibahas secara lebih rinci dalam paragraph berikutnya.
Orang sering tidak mampu atau tidak mau mendengarkan orang lain. Kedua kondisi bertanggung jawab untuk apa yang dapat dikatakan sebagai penghalang terbesar untuk komunikasi yang efektif. Sementara orang-orang tidak dapat membantu mendengarkan pesan, mereka dapat memilih apakah atau tidak untuk mendengarkan. Baik konselor dan klien dapat kembali bahwa jika mereka benar-benar mendengarkan pesan atau mengetahui tingkat yang berbeda dan kemungkinan makna, bisa menghasilkan kecemasan. Sebagai contoh, jika klien mendengar konselor berkata, "Aku akan pergi jauh selama sebulan di bulan Juli, tapi aku akan memiliki kolega menutup panggilan," klien mungkin akan menjawab, "Oh, itu bagus bahwa Anda akan mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri. " Wanita ini mendengar pesan tetapi tidak mau mendengarkan karena itu berarti bersentuhan dengan nyata, sebagai dampak pribadi:
·    Apakah konselor benar-benar peduli tentang diriku kalau dia begitu mudah meninggalkan saya 
   selama sebulan?
·     Bagaimana jika saya benar-benar memerlukannya? Apakah saya bisa menghubunginya?
·     Aku benci menyembunyikannya dari beberapa rekan yang namanya saya tidak tahu dan lebih jauh 
    lagi bahkan tidak mau tahu.
·    Apakah saya dapat berfungsi selama empat minggu penuh tanpa pembimbing?
·   Aku benar-benar merasa kebencian baginya sekarang karena begitu angkuh tentang hubungan
   kami.
·   Apakah saya ini menjadi tergantung padanya ?

Pada beberapa tingkat kesadaran, wanita ini mungkin menyadari bahwa jika ia benar-benar mendengarkan pesan, dia harus berurusan dengan disertai kecemasan. Dia akan dipaksa untuk memutuskan apakah akan menyimpannya untuk dirinya sendiri  atau berbagi pikiran dan perasaan dengan konselor, baik yang ia ingin lakukan. Dia menghilangkan diri dari dilema ini dengan tidak sungguh-sungguh mendengarkan ke konselor. Ketika konselor mengulangi pada akhir sesi bahwa ini akan menjadi sesi terakhir mereka selama empat minggu, seperti seorang klien mungkin bertindak terkejut dan heran, seolah-olah ia sama sekali tidak mengetahui rencana liburan konselor.
Terlalu banyak suara batin (internal dialog) membuat sulit bagi konselor untuk menghadiri ke klien. Sebagai contoh, konselor dapat mendengar klien tetapi mendengarkan diri mereka sendiri. Mereka mungkin berpikir mengenai kertas penelitian mereka berada di tengah-tengah menulis, apa yang akan mereka katakan kepada pasangan mereka malam itu, atau di mana mereka akan makan siang dan dengan siapa. Mendengar klien tetapi mendengarkan diri sendiri secara alami akan terjadi dari dan di sepanjang sesi konseling. Tetapi jika hal itu menjadi umum terjadi, konselor harus memeriksa alasan untuk ini dan melakukan sesuatu untuk memecahkan masalah.

3.        Leading Skills (kemampuan memimpin dan mengarahkan)
Keterampilan memimpin dan mengarahkan berfungsi untuk mengajak konseli untuk secara aktif berpartisipasi dalam proses konseling, untuk memandu atau memfokuskan konseli bila diperlukan, dan untuk menggali topik-topik tertentu secara lebih mendalam. Kemampuan ini salah satunya ditunjukan dengan teknik probing, yaitu dengan memberikan bentuk pertanyaan terbuka atau pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka mendorong konseli untuk menjelaskan atau menjelajahi (misalnya, "Bagaimana hal itu terjadi pada Anda?"), Sedangkan pertanyaan tertutup untuk jawaban tertentu (misalnya, "Apakah Anda tiba tepat pada waktunya?").
Kembali ke contoh tentang orang yang melakukan konseling karena permintaan istrinya, seorang konselor dapat mengajukan pertanyaan tertutup seperti, "Apakah Anda memiliki alasan untuk berada di sini?" Pertanyaan ini dapat dijawab dengan ya atau tak ada jawaban. Entah jawaban mendorong tindak lanjut pertanyaan terbuka. Jika konseli mengatakan tidak, konselor bisa bertanya, "Bagaimana Anda bisa melakukan sesuatu yang Anda tidak ingin lakukan?" Jika klien menjawab ya, konselor bisa menjawab dengan bertanya, "Apa yang menjadi permasalahan Anda dan apakah menurut anda proses koneling bisa membantu Anda?" Konselor dapat belajar banyak tentang konseli mereka dengan pengarahan yang efektif menggunakan pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Tentu saja, terlalu banyak pertanyaan ini jelas tidak diinginkan; tapi dengan pemilihan yang cermat dalam mengarahkan konseli dapat membantu dan mendorong konseli untuk mengungkapkan lebih banyak tentang diri, kelemahan, perjuangan, serta harapan-harapan yang dimiliki oleh konseli.

4.      Reflecting skill (keterampilan merefleksi)

Keterampilan merefleksi membantu konseli dalam beberapa cara. Konseli mempelajari lebih lanjut tentang perasaan dan pikiran mereka sendiri dan mereka memperoleh pemahaman bahwa konselor memahami mereka secara emosional dan kognitif (refleksi dapat menyampaikan empati konselor).
Pada dasarnya refleksi perasaan yang digunakan untuk membantu klien merasa terhubung dengan komentar mereka. Konselor menyatakan kembali apa yang dikatakan klien tapi menekankan unsur-unsur afektif . Dalam contoh kita, konselor mungkin menyatakan , "Anda merasa cemas ketika Anda berpikir tentang berbicara dengan seorang konselor mengenai diri Anda sendiri." Ini membantu konseli merasakan perasaannya dan menguji apakah ini benar-benar bagaimana ia merasa. Refleksi ini juga bermanfaat karena, jika akurat, akan memimpin konselor untuk memeriksa apakah klien mengenai konseling ketakutan menghambat keterlibatannya dalam proses lebih daripada kebencian terhadap istrinya untuk menekan dia pergi. klarifikasi sumber utama perlawanannya sangat penting. Ini akan menentukan, yang sangat luas, apakah upaya konseling ini akan berhasil.
Refleksi perlu ditawarkan secara tentatif karena tidak semua akan benar. Secara hati-hati konselor mencatat bagaimana merespon klien, konselor sering kali dapat menilai keakuratan refleksi mereka. Untuk alasan ini, refleksi dilakukan setelah konselor memiliki pengertian yang baik tentang bagaimana klien bereaksi terhadap umpan balik pada tahap di mana konselor konseling memiliki beberapa keyakinan bahwa klien bisa dan akan memperbaiki salah konselor refleksi.

5.             Challenging skill (Keterampilan menantang)

Brammer dan MacDonald (1999) mengidentifikasi empat keterampilan membantu dalam kategori ini:
a.       Mengenali perasaan diri sendiri sebagai seorang penolong
b.      Menggambarkan perasaan dalam diri sendiri dan berbagi mereka dengan helpee
c.       Memberikan reaksi umpan balik dalam bentuk pendapat mengenai perilaku konseli.
d.      Refleksi diri sebagai bentuk self-challenging.

Challenging skill  membantu konselor memancing kesadaran dari konseli, namun perlu diperhatikan bahwa penggunakaan Challenging skill harus digunakan dengan tepat, karena beresiko untuk bisa memunculkan penolakan dari konseli.
Konselor mungkin menunjukkan keengganan untuk bekerja dengan seseorang yang tidak ingin terlibat. Atau, mungkin konselor kepada klien mengakui bahwa banyak orang yang enggan untuk memulai, tetapi kenyataan bahwa klien datang pada semua adalah alasan untuk optimisme. Yang penting adalah bahwa respon harus akurat dan konsisten dengan reaksi konselor kepada konseli. Konseli yang berbeda menghasilkan reaksi yang berbeda dan konseli berhak untuk mendengar reaksi tertentu yang mereka hasilkan di konselor. Upaya yang penuh tantangan ini pada akhirnya bertujuan untuk mendorong klien untuk melakukan self-reflection untuk menantang diri mereka sendiri.
Konselor mengambil risiko ketika mereka menggunakan Challenging skill, tapi dengan memperhitungkan risiko dengan benar dapat menghasilkan hasil yang luar biasa. Resiko tantangan akan  berkurang jika aliansi kerja yang kuat dan tingkat kepercayaan yang tinggi. Klien akan menjelajahi wilayah yang lebih sulit dan akan merespons secara  konstruksif tantangan-tantangan jika mereka merasakan pemahaman konselor, kepedulian yang tulus,  dan bersedia untuk tetap bersama mereka saat mereka bekerja melalui perasaan / reaksi yang dikeluarkan oleh respon kembali menantang. Seorang klien menyimpulkan itu baik ketika ia berkata, "Banyak orang telah mengatakan hal yang sama kepada saya pada waktu yang berbeda dalam hidup saya. Anda adalah satu-satunya yang bersedia untuk berkeliaran setelah Anda berkata mereka dan membantu saya seperti itu semua keluar. " Komentar klien konselor menekankan bahwa konselor perlu mengukur tingkat komitmen mereka untuk bekerja sama dengan klien ketika mereka membuat penilaian tentang apa tantangan dan konfrontasi untuk ditawarkan.

6.        Interpreting Skills
Keterampilan menafsirkan memungkinkan konselor untuk menawarkan ide-ide mereka tentang mengapa klien bereaksi atau berperilaku dengan cara tertentu. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan informasi baru dan berbeda kepada klien sehingga mereka dapat meningkatkan wawasan dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari diri sendiri. Konselor menafsirkan perilaku sesuai dengan orientasi teoretis dan asumsi pribadi. Oleh karena itu, interpretasi harus selalu ditawarkan kepada klien sebagai masalah untuk pertimbangan bukan sebagai pernyataan fakta yang tak terbantahkan.

Menurut Egan (1982), interpretasi juga membantu konselor untuk menyampaikan "accurate advanced empathy." Bahwa kemampuan interpretasi menunjukan tingkat empati yang akurat. Tingkat pemahanan empatik muncul ketika interpretasi yang ditawarkan yang membawa klien untuk lebih jelas atau lebih menyentuh isu-isu internal yang disadari dan dipahami secara parsial

Tentu saja tidak semua teori-teori konseling akan mendukung penggunaan interpretasi sebagai respons konselor yang tepat. Salah satu teori yang mendukung interpretasi dalam proses konseling adalah pendekatan psikodinamik, karena pendekatan ini akan sangat tergantung pada interpretasi, sementara terapis Gestalt kemungkinan akan menolak penggunaan interpretasi apa pun. Fritz Perls, pendiri terapi Gestalt, sangat  menentang penafsiran. konselor Gestalt akan mengharapkan klien akan bertanggung jawab penuh dalam menafsirkan perilaku mereka.

7.        Informing skill (keterampilan penyampaian)
Sementara memberi nasihat secara historis dijauhi oleh konselor, konseli sering mempunyai kebutuhan yang mendesak mengenai kejelasan dan informasi mengenai dirinya. Konselor perlu dipersiapkan untuk menjawab pertanyaan tentang sumber daya masyarakat, pengobatan alternatif, gejala, dan sebagainya. Memberikan informasi kepada klien dengan cara yang tidak membuat keputusan untuk mereka menguraikan alternatif melainkan merupakan unsur yang penting dalam konseling yang efektif. Ini tidak masuk akal bagi seorang klien berkeliaran tanpa tujuan ketika informasi spesifik yang berguna dapat disediakan.

8.        Summarizing skill (Keterampilan Meringkas)
Kemampuan meringkas dan menyimpulkan membantu klien mengenali tema-tema umum dan bagaimana memahami komentar terpisah terkait dengan tema pribadi. Konselor meringkas dengan menghubungkan koleksi parafrase atau merefleksikan. Berkenaan dengan ini dalam contoh suatu kasus, konselor mungkin berkata , "Ini pasti sangat sulit bagi Anda; apa istri Anda mendorong Anda untuk melakukan beberapa hal yang membuat Anda merasa sangat gelisah; hal ini adalah sesuatu yang kau bilang kau tidak ingin lakukan. Ini adalah situasi di mana perasaan yang sulit Anda hadapi jika Anda bergerak di kedua arah. "
Konselor mungkin perlu meminta klien jika ada lain kali dalam hidupnya di mana tema ini muncul, baik di tempat kerja, di masa kecilnya, atau mungkin di sekolah. Respon afirmatif mungkin. Ini klien tidak menegaskan pola, konselor dapat mengharapkan untuk melihat pesan nonverbal dan verbal yang sering dikaitkan dengan "eureka" pengalaman. Klien mungkin tampak terkejut bahwa konselor bisa melihat, sesuatu yang begitu penting dan meluas ketika mereka tidak bisa melihatnya sendiri. Sementara klien mungkin menyimpulkan bahwa konselor memiliki beberapa pemahaman umum atau kemampuan luar biasa, yang sebenarnya adalah bahwa pada dasarnya yang dilakukan oleh konselor adalah menyimak secara aktif . Pada tahap ini perlu secara bijak disampaikan klien bahwa wawasan, pola, dan tema diperoleh secara langsung dari interaksi konselor dengan klien. Klien menyampaikan kepada konselor semua yang diperlukan untuk mengembangkan tema.

D.           Hakikat Komunikasi

Dedy Mulyana (2001) membahas tentang Hakikat, Definisi dan Konteks Komunikasi yang didalamnya terdapat pengertian komunikasi yaitu communication dalam  bahasa inggris berasal dari kata latin communis yang berarti sama, comunico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama” ( to make common ).   Istilah pertama ( communis ) adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunkasi mernyarankan bahwa suatu pikiran, suatu pikiran, atau suatu pesan dianut secara sama.
Komunikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) merupakan pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Hovland dalam (Onong, 1999: 10) mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the behavior of other individuals).
Sedangkan menurut Onong (2000: 5) komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media.
Jadi dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan pesan di antara dua orang atau lebih yang bermaksud untuk mengubah perilaku, sikap, atau pendapat orang lain yang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

E.         Hambatan- hambatan dalam pelaksanaan komunikasi
Hal ini dapat terjadi sebab di dalam pelaksanaan komunikasi banyak sekali hambatan- hambatan yang mungkin timbul, sehingga kemungkinan pelaksanaan tidak sesuai dengan rencana. Hambatan-hambatan tersebut antara lain :
1.      Hambatan psikologi, terjadi karena beberapa hal seperti karena komunikasi yang disampaikan sering kali keliru dan dilarat, turunnya kewibawaan dari atasan dan sebangainya.
2.      Hambatan kurangnya motivasi, apabila sebuah perusahaan tidak dapat memotivasi maka semua rencana- rencana, instruksi- instruksi, saaran- saran dan sebagainya tidak dilaksanakan sepenuh hati atau mungkin dilaksanakan tapi tidak sesuai dengan rencana yang diinginkan.
3.      Hambatan karena banyaknya perantara, suatu komunikasi dalam penyanpaiannya mungkin harus melalui beberapa perantara dan mungkin perantara yang harus dilalui dalam penyampaian komunikasi ini cukup banyak. Dan sebenarnya makin banyak perantara maka kemungkinan berubahnya komunikasi tersebut semakin besar pula. Namun makin banyak perantara dalam penyampaian komunikasi, apabila dilikukan dengan lisan maka kit harus berusaha mencegah kemungkinan timbulnya perubahan terhadap komunikasi yang disampaikan tersebut.
4.      Hambatan kurangnya partisipasi, kurangnya partisipsi antara pihak yang satu dengan pihak yang lain terutama antara atasan dan bawahan merupakan hambatan terhadap komunikasi yang disampaikan, karena dapat menyebabkan rasa kurang bertanggung jawab dari penerima komunikasi sehingga kemungkinan komunikasi yang disampaikan tidak dilaksanakanatau dilaksanakan semaunya sendiri.

F.            Implikasi Komunikasi dalam konseling
Proses pemberian layanan bimbingan merupakan interaksi antara tenaga bimbingan dengan siswa yang dibimbing, interaksi itu bersifat manusiawi. Interaksi manusiawi itu berlandaskan komunikasi antara sesama manusia, baik dalam bimbingan yang diberikan secara individual maupun yang diberikan secara kelompok. Komunikasi yang berlangsung itu pada dasarnya merupakan komunikasi interpersonal. Bila konselor dan konseli saling bertemu untuk membicarakan suatu masalah, berlangsunglah komunikasi interpersonal.
Menurut Sofyan (1995: 62) komunikasi guru pembimbing atau konselor diartikan sebagai kapasitas untuk mendengarkan, memberi perhatian, merasa dan merespon dengan verbal maupun non verbal kepada siswa atau konseli, dan menampakkan bahwa konselor menghampiri, mendengarkan, dan merasakan secara akurat. Dalam hubungan bimbingan dan konseling pada prinsipnya ditekankan pada bagaimana konselor mengembangkan hubungan yang saling menciptakan rapport. Agar proses bimbingan lebih efektif, maka konselor harus memiliki kemampuan salah satunya adalah dalam berkomunikasi membutuhkan bekal dasar keterampilan komunikasi yang akan menunjang kualitas dalam mengembangkan hubungan yang saling membantu.
Keterampilan komunikasi konselor pada umumnya dipandang siswa atau konseli sebagai keterampilan yang dapat membantu mereka dalam memecahkan masalah. Kondisi ini terutama terjadi pada aspek mendengarkan, memberikan perhatian, merespon dan merasakan, menghampiri, memecahkan masalah, serta mengakhiri dan mengevaluasi.
Komunikasi dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling terbatas pada hal-hal yang menyangkut masalah yang dikemukakan oleh konseli dan tanggapan-tanggapan konselor menghadapi masalah tersebut. Namun tetap berlangsung proses komunikasi interpersonal, di mana dibutuhkan suasana saling mempercayai, saling mengungkapkan pikiran dan perasaan yang harus ditangkap secara tepat dan jelas, dan pemberian bantuan psikologis oleh konselor dalam mengatasi masalah.
Dengan mengkaji beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kemampuan komunikasi interpersonal yang efektif yang telah dipaparkan sebelumnya, konselor atau guru pembimbing diharapkan dapat memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik sehingga layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan pun bisa berlangsung dengan efektif dan efisien.

H.                Penutup
Komunikasi merupakan ketrampilan yang paling penting dalam hidup kita. Kita menghabiskan sebagian besar jam di saat kita sadar dan bangun untuk berkomunikasi. Sama halnya dengan pernafasan, komunikasi kita anggap sebagai hal yang otomatis terjadi begitu saja, sehingga kita tidak memiliki kesadaran untuk melakukannya dengan efektif.
Komunikasi adalah sebuah proses penyampain informasi yang terjadi dalam diri, interasksi dua orang, kelompok, dan lingkup yang lebih besar lagi dengan satu tujuan yaitu tersampaikannya pesan.
Untuk mencapi tujuan dalam komunikasi tersebut (tersampaikannya pesan secara efektif), harus diperhatikan aspek-aspek penting sebagai berikut :
1.        Respect : sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan..
2.    Empati : adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain.
3.        Audible : adalah pesan kita  dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan.
4.        Clarity : Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan
5.        Humble : adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita milik


REFERENSI

Sumber Utama
Cavanagh, Michael E. (2002). The Counseling Experience (2nd Ed). Illionis: Waveland Press, Inc.

Sumber Pendukung

Adler, Ronald B. Dan George Rodman. (1985). Understanding Human Communication. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Mangkunegara, Anwar P. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: Remaja Rodsakarya.

Mulyana, Dedi. (2001). Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya.

Nitisemito, Alex S. (1982). Manajemen Personalia; Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Prijosaksono, Aribowo dan  Roy Sembel. (2002). Komunikasi Yang Efektif. Online: www.sinarharapan.co.id [3 April 2006].

Rakhmat, Jalaludin. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.

Robbins, Stephen P. (1998). Perilaku Organisasi; Konsep, Kontroversi Dan Aplikasi. Jakarta: Prenhallindo.

Sastradipoera, Komarudin. (2001). Asas-Asas Manajemen Perkantoran; Suatu Pendekatan Sistem Informasi Manajemen. Bandung: Kappa – Sigma.

Wianardi. (1990). Asas-asas Manajemen.  Bandung: Mondar Maju.






Leave a Reply