BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PERKEMBANGAN KOGNITIF
OLEH : AAM IMADDUDIN,
M.Pd
A.
Latar
Belakang Masalah
Saat ini
perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan
terjadi dengan sangat cepat. Percepatan ini memberikan konsekuensi lain
terhadap pelbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal pendidikan. Dalam dunia
pendidikan saat ini peserta didik bukan hanya dituntut untuk mempelajari fakta
dan informasi saja, namun juga harus mempelajari bagaimana cara belajar.
Pendidikan bukan lagi diterjemahkan sebagai bentuk pembelajaran untuk mengasah
kemampuan berpikir saja, atau bahkan diterjemahkan sebagai pembelajaran formal
semata, pendidikan saat ini diarahkan untuk membantu peserta didik menjadi
mandiri dan terus belajar selama rentang
kehidupan yang dijalaninya (belajar sepanjang hayat), sehingga dari proses
pembelajaran ini, peserta didik dapat
memperoleh hal-hal yang membantu
individu menghadapi tantangan dalam menjalani kehidupan.
Pendidikan
saat ini diarahkan untuk membantu peserta didik menjadi mandiri dan terus
belajar selama rentang kehidupan yang
dijalaninya (belajar sepanjang hayat), sehingga dari proses pembelajaran
ini, peserta didik dapat memperoleh
hal-hal yang membantu individu
menghadapi tantangan dalam menjalani kehidupan, sebagaimana diamanatkan dalam
Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. (Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Th 2003).
Pendidikan
dalam konteks umum dapat mencakup seluruh proses hidup dan segenap bentuk
interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal, nonformal, maupun
informal, dalam rangka mewujudkan dirinya sesuai dengan tahapan dan tugas
perkembangannya secara optmimal sehingga
ia mencapai suatu tarap kedewasaan tertentu (Abin Syamsudin, 2004:22).
Dengan
demikian, dalam konteks yang lebih luas pendidikan merupakan bantuan kepada
peserta didik untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya
masing-masing.
Pendidikan
dalam perspektif yang praktis dan sempit dapat diartikan sebagai proses transfer
of knowledge yang dikenal dengan proses belajar mengajar atau proses
pembelajaran, atau dalam istilah Gage dan Berliner (Abin Syamsudin, 2004:23)
proses ini disebut dengan interaksi belajar mengajar atau dalam bentuk formal
dikenal dengan pengajaran (instructional).
Memperhatikan
fakta di atas pendidikan baik dilihat dari sudut pandang yang luas atau sudut
pandang yang lebih praktis sama-sama memiliki tujuan untuk membantu
mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh individu. Paling tidak ada
tiga ranah yang harus dikembangkan secara seimbang melalui proses pendidikan,
salah satunya merujuk pada pendapat Bloom (Abin Syamsudin, 2004:26) yang
mengkategorikan tiga ranah perkembangan perilaku individu yaitu : a)
cognitive domain, b) affective domain, c) psychomotor domain.
Tiga ranah
perkembangan tersebut di atas harus berkembang secara berimbang, karena satu
sama lain akan saling mempengaruhi dalam proses perkembangan individu, sebagai
wujud dari hakikat individu sebagai sistem psikofisik. Salah satu ranah
perkembangan yang menjadi salah satu fokus perhatian dalam pendidikan adalah
ranah kognitif. Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang
memiliki padanan kata knowing (mengetahui). Neisser (Muhibbin Syah,
2007:66) menterjemahkan cognition (kognisi) sebagai perolehan, penataan,
dan penggunaan pengetahuan.
Perkembangan
kognisi memiliki keterkaitan dengan perkembangan fisik yaitu dalam hal
perkembangan kapasitas otak dan syaraf, juga berhubungan dengan perkembangan
bahasa, emosi, serta perkembangan moral (Abin Syamsudin 2004, Syamsu Yusuf,
2005 & Muhibbin Syah, 2007).
Perkembangan
kognisi dalam konteks pembelajaran akan sangat berpengaruh luas, karena akan
sangat terkait dengan kemampuan individu mencari, menyerap dan menggunakan
informasi sebagai bagian dari proses pembelajaran. Berbagai teori mengenai perkembangan
kognitif bermunculan, diantaranya mengemukakan bahwa perkembangan kemampuan
kognisi individu berkembang sesuai dengan tahap perkembangan yang pada setiap
fasenya memiliki karakteristik tertentu.
Dari teori
perkembangan kognitif ini berkembang menjadi teori aplikasi dalam bidang
pembelajaran. Dalam hal ini, yang akan menjadi fokus kajian dalam makalah ini
adalah perspektif belajar dalam perkembangan kemampuan kognitif berdasar pada
teori perkembangan kognitif Jean Piaget (1896-1980.
B.
Konsep
Dasar Perkembangan Kognitif
1. Definisi
Perkembangan Kognitif
Kognisi
kognitif berasal dari kata cognition yang memiliki padanan kata knowing
(mengetahui). Berdasarkan akar teoritis yang dibangun oleh Piaget, beberapa
penulis mendefinisikan kognisi dengan redaksi yang berbeda-beda, namun pada
dasarnya sama, yaitu aktivitas mental dalam mengenal dan mengetahui tentang
dunia. Neisser dalam Morgan, et al. (Melly Latifah, 2008), mendefinisikan
kognisi sebagai proses berpikir dimana informasi dari pancaindera
ditransformasi, direduksi, dielaborasi, diperbaiki, dan digunakan.
Istilah
kognitif menurut Chaplin (Muhibbin Syah, 2007:66) adalah salah satu wilayah
atau domain/ranah psikologis manusia yang meliputi perilaku mental yang berhubungan
dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah,
kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kognitif juga memiliki hubungan dengan konasi
(kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa.
Menurut
Santrock (Melly Latifah, 2008), kognisi mengacu kepada aktivitas mental tentang
bagaimana informasi masuk ke dalam pikiran, disimpan dan ditransformasi, serta
dipanggil kembali dan digunakan dalam aktivitas kompleks seperti berpikir.
Dari
beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa kognisi merupakan salah satu
aspek perkembangan individu yang meliputi kemampuan dan aktivitas mental yang
terkait dalam proses penerimaan-pemrosesan-dan penggunaan informasi dalam
bentuk berpikir, pemecahan masalah, dan adaptasi.
Pembahasan
mengenai perkembangan kognitif individu meliputi
kajian tentang perkembangan individu dalam berfikir atau proses kognisi
atau proses mengetahui. Jean Piaget (1896-1980) adalah salah satu tokoh yang
memberikan pengaruh kuat dalam pembahasan mengenai perkembangan kognitif.
Miller (Mery Latifah, 2008) berpendapat bahwa teori Piaget merupakan teori
pentahapan yang paling berpengaruh dalam psikologi perkembangan, di mana dalam
setiap tahapannya Piaget menggambarkan bagaimana manusia mendapatkan
pengetahuan tentang dunianya (genetic epistemology).
Perkembangan
kognitif dan aspek-aspek yang terkandung di dalamnya dapat dilihat dari dua
sudut pandang yaitu : 1) perkembangan kognitif secara kuantitatif, dan 2)
perkembangan kognitif secara kualitatif (Abin Syamsudin, 2004:101).
2. Perkembangan
Kognitif Secara Kuantitatif
Loree (Abin
Syamsudin, 2004:101) kemudian memaparkan bahwa deskripsi perkembangan kognitif
secara kuantitatif dapat dikembangkan berdasarkan hasil pengukuran yang
menggunakan instrumen tes intelgensi yang dilakukan secara longitudinal
terhadap sekelompok subjek dari dan sampai usia tertentu (3-5 tahun sampai usia
30-35 tahun) seperti yang dikembangkan oleh Binet yang disempurnakan oleh
Stanford (Stanford Revision Binet Test).
Beberapa
jenis tes intelegensi yang saat ini menjadi rujukan antara lain : 1) Wechsler-Bellevue
Intellegence Scale (1939), 2) Wechsler Intellegence Scale for Children (1949),
3, Wechsler Adult Intellegence Scale (1955), 4) Test Binet
Simon/Verbal Test (1905),5) Stanford
Revision Binet Test (1916), 6) Raven Prgressive Metrices/ non verbal test
(Abin Syamsudin, 2004:57, Boeree, 2008:279).
Secara
kuantitatif perkembangan kognisi di dasarkan pada hasil tes intelegensi yang
kita kenal dalam bentu ukuran intelegensi yaitu IQ (Intelligence Quotient)
yang merupakan rasio/hasil bagi dari IQ= MA/CA x 100. MA adalah mental age/ usia
mental. Sedang CA adalah usia kronologis (chronological age) (Boeree,
2008:264). Sebaran
tingkat intelegensi dari hasil tes intelegensi dapat dikategorisasi menjadi
beberap tingkatan, seperti ditampilkan dalam tabel 2.1. di bawah ini.
Tabel 2.1.
Klasifikasi IQ
Menurut Stanford-Binet
KLASIFIKASI
|
IQ
|
Genius
|
> 140
|
Sangat cerdas
|
130-139
|
Cerdas (superior)
|
120-129
|
Di atas rata-rata
|
110-119
|
Rata-rata
|
90-109
|
Di bawah rata-rata
|
80-89
|
Garis batas (bodoh)
|
70-79
|
Moron
|
50-69
|
Imbisil/ idiot
|
< 49
|
Bloom (Abin
Syamsudin, 2004:102) dari hasil studi longitudinalnya yang didasarkan
pada hasil tes IQ dari masa-masa sebelumnya terhadap orang-orang yang sama,
memperlihatkan persentase taraf kematangan perilaku kognitif seperti tergambar
dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.2
Persentase Perkembangan Kemampuan Kognitif
Bloom (Abin Syamsudin, 2004:102)
USIA
|
%
PERKEMBANGAN
|
1 TH
|
20 %
|
4 TH
|
50 %
|
8 TH
|
80 %
|
13 TH
|
92 %
|
3. Perkembangan
Kognitif Secara Kualitatif
Untuk
memahami perkembangan kognitif secara kualitatif, teori dari Jean Piaget
(1896-1980) dapat memberikan gambaran yang cukup jelas. Teori
Perkembangan kognitif dari Piaget memberikan banyak konsep utama dalam lapangan
psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan (Wikipedia
Indonesia, 2008). Miller (Mery Latifah, 2008) berpendapat bahwa teori Piaget
merupakan teori pentahapan yang paling berpengaruh dalam psikologi
perkembangan, di mana dalam setiap tahapannya Piaget menggambarkan bagaimana
manusia mendapatkan pengetahuan tentang dunianya (genetic epistemology).
Secara
ringkas, teori Piaget menjelaskan bahwa selama perkembangannya, manusia
mengalami perubahan-perubahan dalam struktur berfikir, yaitu semakin
terorganisasi, dan suatu struktur berpikir yang dicapai selalu dibangun pada
struktur dari tahap sebelumnya. Perkembangan yang terjadi melalui tahap-tahap
tersebut disebabkan oleh empat faktor: kematangan fisik, pengalaman dengan
objek-objek fisik, pengalaman sosial, dan ekuilibrasi. (Mery Latifah, 2008).
Untuk
memahami teori perkembangan kognitif Piaget, terdapat beberapa kata kunci atau
konsep pokok dari teori perkembangan kognitif Piaget. Berikut rangkuman kata
kunci dari berbagai literatur yang membahas tentang teori Piaget (Abin
Syamsudin Makmun, 2004., Monk & Knoers, 2006., Jarviss,2007., Boeree,
2008., Woolfolk & Nicolich, tt., Sarlito Wirawan, 2008.,)
1. pola (Schema)
adalah paket-paket informasi yang masing-masing dari informasi tersebut
memiliki hubungan dengan satu aspek dunia, termasuk objek, aksi, dan konsep
abstrak.
2. asimilasi (assimilation)
proses penggabungan informasi baru ke dalam pola-pola yang sudah ada
3. akomodasi (accomodation)
pembentukan pola baru untuk membentuk informasi dan pemahaman baru
4. operasi (operation)
penggambaran mental tentang aturan-aturan
yang terkait dengan dunia.
5. Struktur
kognitif (cogitive structure) kerangka berpikir individu yang merupakan
kumpulan informasi yang telah didapatkan, hal ini berhubungan pola kognitif (cognitive
schema) yang merupakan perilaku tertutup berupa tatanan langkah-langkah
kognitif (operasi) yang berfungsi memahami apa yang tersirat atau menyimpulkan
apa yang direspon.
6. ekuilibrum
atau keseimbangan (equilibrum) keseimbangan antara pola yang digunakan
dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil kecepatan akomodasi, atau
keadaan mental ketika semua informasi yang diperoleh dapat dijelaskan dengan
pola-pola yang ada.
Pokok teori
perkembangan kognitif Piaget berasumsi bahwa setiap organisme hidup dilahirkan
dengan dua kecenderungan fundamental, yaitu ; a) kecenderungan untuk adaptasi,
dan b) kecenderungan untuk organisasi (Monk & Knoers, 2006:209, Woolfolk
& Nicholich, tt: 62 ).
Selanjutnya Monk & Knoers (2006:209-211) memaparkan bahwa kecenderungan
adaptasi merupakan bawaan setiap organisme untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan melalui dua proses yang saling komplementer yaitu : 1) asimilasi,
dan 2) akomodasi. Woolfolk & Nicholich (tt: 62) mengungkapkan bahwa
asimilasi merupakan sebuah usaha atau
proses inidividu dalam memahami sesuatu yang baru dengan cara menghubungkannya
dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya (struktur kognitif). Sebagai
contoh, ketika seorang anak pertama kali melihat zebra, dengan berbagai ciri
dan informasi yang diketahui tentang kuda, maka anak tersebut akan menyebutnya
kuda.
Proses
adaptasi tidak selamanya bisa dilakukan melalui teknik asimilasi. Ketika
inidividu mengalami situasi baru atau menghadapi objek atau masalah baru yang
tidak bisa diselesaikan dengan struktur
kognitif yang telah ada, maka inidividu melakukan proses akomodasi, yaitu
merubah atau menambah pola untuk merespon situasi baru (Woolfolk &
Nicholich, tt: 62., Abin Syamsudin, 2004:104).
Sebagai
contoh, ketika anak mulai belajar mengenal mainan pada awalnya akan menganggap
mainan tersebut adalah sesuatu yang bisa dimakan, maka anak akan mencoba
memakannya (proses trial and error), dan setelah mencoba ternyata mainan
tersebut bukan sesuatu yang bisa dimakan, maka anak tersebut akan mencoba
merespon dengan cara lain (mengakomodasi) seperti memainkan benda tersebut
dengan cara menggoyang atau melemparkannya. Atau sebagai contoh lain, ketika
anak mulai mengidentifikasikan ciri-ciri dari satu binatang untuk mengenali
jenis binatang yang lain, misalkan antara kuda, zebra, dan binatang berkaki empat
lainnya, di sini proses akomodasi akan membantu individu beradaptasi untuk
memahami objek, masalah atau konsep-konsep baru.
Piaget
(Boeree, 2008:367) mengemukakan bahwa asimilasi dan akomodasi berfungsi untuk
menyeimbangkan struktur pikiran dan lingkungan, dan menciptakan porsi yang sama
di antara keduanya. Jika keseimbangan ini terjadi maka individu akan memperoleh
gambaran yang baik tentang dunianya (pemahaman tentang informasi, objek atau
masalah yang dihadapi) atau dalam konteks teori Piaget disebut dengan istiliah
ekuilibrum (equilibrum).
Kecenderungan
yang kedua adalah organisasi. Monk & Knoers (2006:209-211)
menjelaskan kecenderungan organisasi sebagai kecenderungan organisme untuk
mengintegrasikan proses-proses sendiri menjadi sistem-sistem yang koheren.
Sebagai
contoh dari kecenderungan organisasi seperti kemampuan seorang bayi
mengintegrasikan dua perilaku yang terpisah menjadi satu struktur. Pada awalnya
bayi mulai bisa meraih suatu benda dan mengamati sesuatu di sekitarnya. Pada
awalnya anak tidak mampu mengintegrasi dua struktur tingkah laku ini, namun
lama kelamaan melalui proses dua struktur perilaku ini dikordinasi menjadi satu
struktur dalam tingkatan yang lebih tinggi dalam bentuk koordinasi mata dan
tangan atau visio-motorik (Monk & Knoers, 2006:209-211).
Kecenderungan
adaptasi dan organisasi memiliki peran komplementer dalam proses perkembangan
kognitif individu. Piaget (Boeree, 2008:368) mencatat adanya periode di mana
asimilisi lebih dominan, periode di mana akomodasi lebih dominan, dan periode
di mana keduanya mengalami keseimbangan. Periode-periode ini relatif sama dalam
diri setiap anak yang diselediki. Barulah kemudian Piaget memperoleh ide
tentang tahap-tahap perkembangan kogntif.
C. Faktor yang
Mempengaruhi Perkembangan Kognitif
Perkembangan
kognitif individu dalam konteks teori Paiget dipengaruhi oleh empat faktor
yaitu : a) kematangan, b) pengalaman atau aktivitas yang dilakukan oleh
individu, c) transmisi sosial, dan d) ekuilibrasi ( Woolfolk & Nicolich,
tt: 65., Monks & Knoers, 2006:229., Gunarsa dalam Sarlito Wirawan, 2008:88
).
Kematangan
dalam proses perkembangan kognitif akan seiring dengan perubahan biologis yang
secara genetik terprogram dalam tiap diri individu pada saat pembuahan (Woolfolk & Nicolich, tt: 65).
Berikutnya kematangan dapat dimaknai kesiapsedian atau berfungsinya organ-organ
yang menunjang perkembangan kognitif individu. Gunarsa (Sarlito Wirawan,
2008:80) mengemukakan yang dimaksud dengan kematangan dalam perkembangan
kognitif Piaget adalah perkembangan sistem syaraf yang menunjang berfungsinya
panca indera dengan sempurna.
Faktor yang
kedua adalah pengalaman atau aktivitas. Menurut Piaget (Monks & Knoers,
2006:229) pengalaman atau aktivitas yang dilakukan oleh individu menimbulkan
dua pengalaman mental. Pertama adalah pengalaman fisik, yaitu aktivitas
yang melibatkan pengalaman fisik yang dapat mengabstraksi sifat fisik
objek-objek tertentu, seperti mengetahui berat satu benda dengan benda lainnya
berbeda, atau ketika anak menghirup bunga mawar anak menjadi tahu bahwa bunga
mawar harum baunya.
Pengalaman
yang kedua adalah pengalaman logo-matematik. Pengalaman ini berhubungan dengan pengertian yang tidak
datang dari pengalaman fisik, melainkan diperoleh dari koordinasi internal
perilaku individu (Monks & Knoers, 2006:229). Sebagai contoh ketika
anak-anak bermain dengan sejumlah balok, dihitungnya berkali-kali, diaturnya
begini dan begitu. Dari proses tersebut anak memperoleh pemahaman bukan hanya
tentang balok-balok tersebut, melainkan pemahaman mengenai perilaku menghitung
dan mengatur sendiri, anak akan mengerti bahwa perilakunya tidak berakibat
apa-apa terhadap jumlah balok-balok tersebut.
Faktor
ketiga yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif adalah transmisi
sosial. Transmisi sosial merupakan sebuah proses di mana individu belajar
dari orang lain atau lingkungan. Gunarsa (Sarlito Wirawan, 2008:80),
menjelaskan bahwa transmisi sosial merupakan hubungan timbal balik individu
dengan lingkungan sosial, antara lain dengan pengasuhan, pendidikan dan interaksi
dengan orang lain.
Faktor yang
keempat adalah ekulibrasi. Faktor keempat ini mengintegrasikan efek dari
tiga faktor sebelumnya. Monks & Knoers ( 2006:229 ) menyebutkan bahwa
proses ekulibrasi merupakan proses pengaturan diri yang dilakukan oleh individu,
atau dalam kata lain menurut Gunarsa (Sarlito Wirawan, 2008:80), ekulibrasi
merupakan sistem pengaturan dalam diri individu untuk mempertahankan
keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Proses ekulibrasi
akan membawa inidividu menuju dari satu tahap menuju tahap perkembangan
lainnya.
D. Tahap
Perkembangan Kognitif Menurut Jean Piaget
Piaget
meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif dari tahun 1929 – 1980.
Piaget berpendapat bahwa cara berpikir anak-anak berbeda dengan orang dewasa
bukan hanya karena kurang/belum matang serta kurang pengetahuan, tetapi juga
berbeda secara kualitatif. Artinya cara berpikir anak-anak berbeda dengan orang
dewasa (Jarvis, 2007:141).
Dari hasil
penelitiannya Piaget membagi proses perkembangan kognitif menjadi empat tahapan
utama yang secara kualitatif setiap tahapan menunjukan karakteristik yang
berbeda (Abin Syamsudin Makmun, 2004:102). Piaget (Jarvis, 2007:148) percaya
bahwa setiap orang melalui keempat tahapan perkembangan kognitif, meskipun mungkin
setiap tahap bagi setiap orang dilalui
dalam usia yang berbeda.
Berikut ini
adalah tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget yang dirangkum dari
berbagai literatur yaitu : 1) tahap
sensorimotor (usia 0–2 tahun), 2) tahap praoperasional (usia 2–7 tahun), 3)
tahap operasional konkrit (usia 7–11 tahun), dan 4) tahap operasional formal
(usia 11 tahun sampai dewasa) (Abin Syamsudin Makmun, 2004., Monk & Knoers,
2006., Jarviss,2007., Boeree, 2008., Woolfolk & Nicolich, tt., Sarlito
Wirawan, 2008.).
1.
Tahap Perkembangan Sensorimotor
Menurut
Piaget, bayi lahir
dengan sejumlah refleks
bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya
dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Piaget berpendapat bahwa
tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam
enam sub-tahapan:
a.
Sub-tahapan skema refleks, muncul saat
lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
b.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer,
dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan
munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder,
muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan
koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d.
Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular
sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat
berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau
kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier,
muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama
dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
2.
Tahap Perkembangan Praoperasional
Pemikiran
(Pra) Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan
tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang
dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar
menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata.
Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut
pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri,
seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau
mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan
sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini,
anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka
mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun,
mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Pada awal tahapan ini,
mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di
dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan
memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan,
kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki
pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang
tidak hidup pun memiliki perasaan.
3.
Tahap Perkembangan Operasional Konkret
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan.
Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa
penggunaan logika yang
memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan—kemampuan
untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya,
bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang
paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi—kemampuan
untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya,
ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian
benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak
tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme
(anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Decentering—anak
mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa
memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar
tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat
diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat
menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi—memahami
bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan
dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai
contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka
akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di
gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang
lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai
contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam
kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke
dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi
konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di
dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam
laci oleh Ujang.
4.
Tahap Perkembangan Opersional Formal
Tahap operasional formal adalah periode
terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak
dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan
terus berlanjut sampai dewasa.
Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara
abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang
tersedia.
Dalam tahapan ini, seseorang dapat
memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala
sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi
abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis,
tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar
lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis,
kognitif, penalaran moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak
sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai
keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran
dari tahap operasional konkrit.
E. Analisis
Perkembangan Kognitif Remaja
1. Karakteristik
Perkembangan Kogntif Remaja
Secara
psikologis menurut Piaget (Hurlock, 1980:206) masa remaja adalah masa dimana
individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi
merasa di bawah tingkatan-tingkatan orang dewasa yang lebih tua melainkan dalam
tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Menurut Hurlock masa
remaja termasuk pada tahapan kelima dalam fase perkembangan individu, rentang
waktunya antara 13-21 tahun (remaja putri), dan 14-21 (untuk remaja putra).
Perkembangan
kognitif remaja merujuk pada teori perkembangan kognitif Piaget berada pada
tahap keempat yaitu tahap operasional formal. Pada tahapan ini individu
diasumsikan telah memiliki dua ragam kemampuan kognitif dan
mengkoordinasikannya secara simultan maupun berurutan, yaitu : 1) kapasitas
menggunakan hipotesis (anggapan dasar), dan 2) kapasitas menggunakan
prinsip-prinsip abstrak (Muhibbin Syah, 2003:33).
Kapasitas
dalam menggunakan hipotesis oleh Piaget (Santrock, 2002: 10) dinamakan dengan
penalaran deduktif hipotetis ( hypothetical-deductive reasoning) yaitu
kemampuan untuk mengembangkan hipotesis, atau dugaan terbalik mengenai
cara memecahkan masalah, seperti dalam
persamaan aljabar.
Pendapat
Piaget mengenai tahapan operasional formal mengatakan bahwa individu pada usia
11-15 tahun dan seterusnya sudah mampu atau berada pada tahapan operasional
formal. Akan tetapi hal tersebut pada kenyataanya tidak sama. Santrock
(2002:10) mengemukakan beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa terdapat
banyak variasi individual pada tahap operasional formal. Menurut hasil penelitian
ini hanya satu dari tiga orang remaja yang merupakan pemikir operasional
formal, bahkan banyak orang dewasa di Amerika dan di bagian negara dan budaya
lainnya tidak pernah menjadi pemikir operasional formal. Hal ini menyiratkan bahwa perkembangan kognitif individu
banyak dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan, serta faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan kognitif yang telah dibahas sebelumnya.
F. Implikasi
Teori Piaget Terhadap Praktek Pendidikan
Tujuan
utama dari teori perkembangan kognitif dari Piaget adalah untuk memberikan
pemahaman yang lebih baik mengenai cara pikiran berkembang dan berbagai faktor
yang mempengaruhi perkembangan kognitif. Satu hal yang harus digaris bawahi dalam proses penerapan
teori dan prinsip perkembangan kognitif
Piaget dalam proses pembelajaran bagi para pendidik adalah tidak semua
prinsip dalam teori Piaget dapat berlaku utuh pada setiap siswa. Menurut
Muhibbin Syah (2003:35) Teori ini merupakan outline (garis besar) yang
berhubungan dengan kapasitas-kapasitas kognitif dalam diri siswa dari masa ke
masa.
Woolfolk
dan Nicolich ( tt: 81 ) mengemukakan dua implikasi teori Piaget dalam praktek
pendidikan yaitu membantu para pendidik dalam : 1) menentukan kemampuan
kognitif peserta didik, 2) memilih strategi pembelajaran.
Dalam
perspektif lain, Woolfolk (2008:59) mengemukakan manfaat dari teori
perkembangan kognitif Piaget dalam konteks pembelajaran antara lain sebagai berikut
:
a. Memahami
dan mengembangkan cara berpikir individu sesuai dengan tahapan perkembangannya.
b. Memahami
konteks pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif individu
c. Mengembangkan
aktivitas yang membantu individu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
d. Memahami
peran bermain dalam perkembangan kognitif individu, terutama pada awal masa
perkembangan.
G. Kesimpulan
Dari pembahasan
mengenai perkembangan kognitif dari Piaget dapat ditarik beberapa kesimpulan.
1.
Hakikat
perkembangan kognitif remaja adalah perkembangan kemampuan berpikir operasional
formal dengan ditandai dengan kemampuan berpikir abstrak dan kemampuan berpikir
deduktif-hipotetik.
2.
Terdapat
empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu : kematangan,
pengalaman dan aktivitas, transmisi sosial, dan ekulibrasi.
3.
Perkembangan
individu dalam kemampuan kognitif tidak bisa diukur secara umum, karena masih
ada faktor determinan yang menentukan kemampuan kognitif, seperti kebudayaan
dan lingkungan sosial. Implikasi teori Piaget dalam proses pendidikan adalah
membantu para pendidik untuk memahami tahap dan karakteristik perkembangan
kognitif peserta didik sehingga membantu pendidik untuk menentukan tingkat
kognitif peserta didik dan memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan tahapan
perkembangan kognitif para peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Abin Syamsyudin Makmun.
(2004). Psikologi Kependidikan : Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung:Rosda
Boree, C. Goerge. General
Psychology : Psikologi Kepribadian, Persepsi, Kognisi, dan Perilaku. (terj.
Helmi J. Fauzi). Jogjakarta : Primashopie
Buscaglia (2005) Encouraging
Children to Love Learning . tersedia di : Search Institute, www.search-institute.org. [07012008]
Djamarah, Syaiful Bahri.
(2002). Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hurlock, Elizabeth. (1994).
Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Jakarta : Erlangga
Jarvis, Matt.(2007).
Teori-teori Psikologi : Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku, Perasaan dan
Pikiran Manusia. (Terj. SPA-Teamwork). Bandung : Nusamedia dan Nuansa.
Melly Latifah
(2008). Perkembangan Kognitif. Tersedia di : http://tumbuhkembanganak.edublogs.org/2008/04/29/perkembangan-kognitif [30122008]
M. Ngalim Purwanto. (2000). Psikologi Pendidikan.
Bandung : Rosda
Muhibbin Syah (2007). Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru. Bandung : Rosdakarya
_______ (2003). Psikologi Belajar. Jakarta :
Rajawali Press
Santrock, Jhon W (2002). Life-span Development : Perkembangan
Masa Hidup. (terj. Juda
Damanik & Achmad Khusairi). Jakarta : Erlangga
Sarlito
Wirawan (2008). Psikologi Remaja. Jakarta : Rajawali Press
Sofyan Willis (2005). Remaja dan Permasalahannya.
Bandung : CV. Alfabeta
Syamsu Yusuf . (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Bandung : Rosda
Woolfolk, Anita E.
& Nicolich, Lorraine McCune. (tt). Mengembangkan Kepribadian dan
Kecerdasan Anak-anak (Psikologi Pembelajaran I). Inisiasi Press.
Kontributor
Pengunjung
Teman
Insight Corner
- catatan kaki (5)
- cerita cinta (1)
- counseling (13)
- Filsafat (1)
- pendidikan (5)
- research in counseling (1)
musiQu
Catatan Sahabat
Tulisan Terpilih
Blog ini adalah wahana ekpresi komunikasi dan diskusi untuk semua yang berminat di bidang pendidikan, konseling, budaya dan sosial kemasyarakatan
lelaqihoedjan. Diberdayakan oleh Blogger.