PERKEMBANGAN KECERDASAN
SPIRITUAL ANAK
Oleh : Aam
Imaddudin, M.Pd (2012)
aam.imaddudin@umtas.ac.id
aam.imaddudin@umtas.ac.id
DINAMIKA PERKEMBANGAN SISWA SEKOLAH DASAR
Siswa sekolah dasar pada umumnya berusia
antara enam sampai dengan dua belas tahun, atau tujuh sampai dengan tiga belas
tahun. Hurlock (1980: 146) menyebutkan bahwa rentang usia sekolah dasar adalah
mulai dari akhir masa kanak-kanak (late childhood),
yaitu usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara
seksual. Disebut usia sekolah dasar karena pada masa itu diharapkan anak-anak
memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri mereka
pada kehidupan dewasa.
Syamsu Yusuf
(2004:24) menyebut tahap ini sebagai masa usia sekolah yaitu masa intelektual
atau masa keserasian bersekolah. Pada usia keserasian bersekolah ini secara
relatif, anak-anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya.
Masa usia sekolah dibagi menjadi dua fase, yaitu masa kelas rendah, yaitu
kira-kira usia 6 atau 7 tahun sampai umur 9 atau 10 tahun, fase kedua yaitu
masa kelas tinggi, kira-kira usia 9 atau 10 tahun sampai usia 12 atau 13 tahun
(Syamsu Yusuf, 2004:25).
Ciri-ciri dan karakteristik perkembangan siswa
sekolah dasar dijelaskan oleh Syamsu Yusuf (2004:25) sebagai berikut :
Karakteristik anak pada usia kelas rendah antara
lain :
1. Adanya
hubungan positif yang tinggi antara keadaan jasmaniah dengan prestasi (apabila
kondisi fisiknya
sehat banyak prestasi di sekolah)
2. Sikap
tunduk kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional
3. Adanya
kecenderungan memuji diri sendiri (menyebut namanya sendiri)
4. Suka
membanding-bandingkan dirinya dengan anak yang lain
5. Apabila
tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting
6. Pada
masa ini (terutama usia 6,0 – 8,0 ) anak menghendaki nilai (angka rapor) yang
baik, tanpa
mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau
tidak.
Sedangkan karakteristik anak pada usia kelas tinggi
antara lain:
1.
Adanya minat terhadap kehidupan praktis
sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya
kecenderungan untuk
membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis
2.
Amat realistik, ingin mengetahui, ingin
belajar
3.
Menjelang akhir masa ini telah ada minat
kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli
ditafsirkan sebagai
mulai menonjolnya factor-faktor (bakat khusus)
4.
Sampai kira-kira umur 11,0 tahun anak
mulai membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk
menyelesaikan tugas dan
memenuhi keinginannya. Selepas umur ini pada umumnya anak menghadapi
tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya.
5.
Pada masa ini, anak memandang nilai
(angka rapor) sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya)
mengenai prestasi
sekolah
6.
Anak-anak pada usia ini gemar membentuk
kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama-
sama. Dalam permainan ini
biasanya anak tidak lagi terikat kepada peraturan permainan yang tradisional
(sudah ada sebelumnya), anak-anak bisa membuat peraturan sendiri.
Arnold Gesell (Tamim, 2009:66) menjelaskan karakteristik
anak sekolah dasar dalam perspektif ”behavioral age”,
antara lain:
1. Pada
usia enam tahun, anak diklasifikasikan sebagai anak yang memiliki egosentris
tinggi, ciri-cirinya,
antara lain: ingin menjadi pusat perhatian; selalu ingin
jadi nomor satu; sangat dinamis; memiliki energi
yang berlebih; dan selalu
menghabiskan waktunya dengan berfantasi.
2. Pada
usia tujuh tahun, ditandai dengan: lebih tenang, terorganisir, biasanya lebih menjadi pemikir; dapat
lebih
berkonsentrasi dan sudah mampu merefleksikan pelajaran. Namun, pada usia ini
anak selalu cemas
pada keadaan
sekitarnya; sangat perhatian pada kesehatan; mengkhawatiri kematian orang
tuanya dan
cemas menghadapi tugas-tugas sekolah; sering menyalahkan orang lain
dan selalu menyita waktu gurunya
untuk mendapakan perhatian, serta selau ingin
berhubungan lebih dekat lagi dengan guru.
3.
Pada
usia delapan tahun, ditandai dengan: memiliki karakteristik meledak-ledak;
selalu dalam keadaan
gembira; selalu ingin mengatasi tantangan yang sulit oleh
dirinya sendiri; merasa mengetahui semuanya;
memiliki motivasi dan minat yang
tinggi walaupun sering cepat bosan dan tidak sabar; lebih bertanggung
jawab
terhadap perbuatannya; memiliki alasan ketika menyalahkan teman; lebih dapat
menerima kritik;
berorientasi pada harga diri sendiri; memiliki keterampilan
komunikasi yang baik; dan
mudah.mengekspresikan diri.
4.
Pada
usia sembilan tahun, anak berada pada masa kebingungan karena dorongan
kemandirian
memunculkan jarak dengan orang tuanya, adapun teman sebaya
diposisikan melebihi orang tua dalam
aspek pokok dunia anak. Ciri-ciri lain,
diantaranya: intelektualitasnya sangat baik; bahasa komunikasinya
sudah baik;
dapat mengekspresikan emosinya dengan baik; dapat berpikir mandiri dan kritis;
mulai tidak
berorientasi ”here and now”; mulai senang pada budaya orang lain;
mulai menikmati sejarah masa lalu;
mulai menunjukkan pengertian dan empati yang
tinggi; mulai suka melawan otoritas dengan cara ekstrim,
yaitu menarik diri
atau ”complaint” yang berlebihan.
5.
Pada
usia sepuluh tahun, anak-anak lebih menyenangkan daripada
sebelumnya. Sebab, memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: lebih patuh, spontan,
mudah diajak kerjasama; mempunyai komitmen tinggi bagi dirinya
dan yang lain
sehinga mereka mudah diterima di lingkungan orang dewasa. Kondisi ini mendorong
kemampuan verbalnya meningkat lebih baik karena kebanyakan dari mereka pasti suka berbicara,
walaupun
pada umumnya lebih suka membaca daripada menulis.
6.
Pada
usia sebelas tahun, anak-anak sudah mulai mendekati masa dewasa, ciri-cirinya,
antara lain: mulai
bersikap asertif; rasa ingin tahunya lebih tinggi; dan lebih
mudah bersosialisasi seiring suburnya intensitas
emosi mereka; lebih mudah mengutarakan perasaan pada orang tua,
guru ataupun konselor walaupun
”mood”nya mudah berubah; memiliki minat
positif pada teman sebayanya dan sensitif ketika menemptkan
diri dalam
kelompok; memiliki penilaian individual walaupun akan menghadapi tekanan dari
teman sebaya
sehingga mudah terlibat konflik dan pertikaian dengan teman
sekelasnya.
7.
Pada
usia dua belas tahun, anak-anak berada pada pertengahan antara masa anak-anak
dan masa
dewasa, ciri-cirinya, antara lain: memiliki spirit dan antusiasme yang
tinggi; dapat membaca ekspresi
emosi pada diri mereka sendiri maupun orang
lain; berpotensi untuk berubah sikap dan berperilaku
seperti orang dewasa;
perubahan fisik (terutama anak perempuan) sudah 90% menjadi orang dewasa
yang ditandai maksimalnya perkembangan dada dan teraturnya siklus menstruasi. Adapun
anak laki-laki,
beberapa diantaranya sudah menunjukkan perkembangan seksual,
namun mereka lebih senang mencari
informasi tentang pendidikan seks pada teman
sebayanya dibanding pada guru atau konselornya; ”mood”
emosional
cenderung berkurang dibanding ketika berusia 11 tahun; lebih dapat mengontrol
emosi ketika
marah di hadapan teman-temannya; mulai membicarakan hal-hal
tentang masa depan, kelanjutan studi, pekerjaan dan masa depan karir.
KARAKTERISTIK
PERKEMBANGAN KECERDASAN SPIRITUAL SISWA SEKOLAH DASAR
Kecerdasan spiritual dibutuhkan oleh
setiap individu dalam menjalani kehidupan, termasuk anak-anak dan remaja.
Kecerdasan spritual merupakan inti yang dapat menggerakan kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual Kecerdasan
spiritual merepresentasikan motif dasar individu dalam pencarian makna sebagai
makhluk. Stephen Covey (2004: 53) mengungkapkan
bahwa “Spiritual Intelligence is the central and most fundamental of all the
intelligence because it becomes the source of guidance of the other three.
Spiritual intelligence represents our drive for meaning and connection with
infinite”. Pendapat tersebut menegaskan bahwa kecerdasan spiritual
merupakan jembatan yang menghubungkan, menyeimbangkan perkembangan
dimensi-dimensi kecerdasan lain yang secara fitrah telah diberikan oleh Yang
Maha Pencipta. Oleh karena itu, setiap individu, termasuk para siswa sekolah
dasar perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas kecerdasan spiritual
sebagai salah satu kecakapan hidup yang harus dimiliki.
Hurlock (1980:
146) memaparkan bahwa pada usia sekolah dasar, anak diharapkan memperoleh
dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian
diri pada kehidupan dewasa, hal ini termasuk pengembangan kecakapan spiritual. Perkembangan
spiritualitas merupakan proses yang bersifat kontinum dan dinamis,
spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses perkembangan
kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan,
serta seluruh alam semesta.
Gambar 2.1
Interkoneksi aspek perkembangan
spiritual
Konsep
interkoneksi tiga kompenen dari Search-Institute (2008) menjelaskan bahwa
konsep perkembangan spiritual anak merupakan proses yang bersifat konstan namun
sekaligus proses dinamis yang berkesinambungan. Artinya, setiap orang pasti
mengalami proses perkembangan spiritual, akan tetapi berbeda dalam proses dan
pencapaiannya, hal tersebut akan dipengaruhi oleh interkoneksi ketiga komponen
utama dari perkembangan spiritual, yaitu 1). Kesadaran, 2) perasaan saling
memiliki dan terhubung satu dengan yang lain, dan 3) pandangan dan cara hidup.
Ketiga komponen tersebut akan saling terhubung dalam proses perkembangan
spritual anak, akan tetapi perkembangan tiga komponen tersebut akan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tumbuh dan berkembang.
Komponen
kesadaran
merupakan keadaan dimana individu menjadi lebih peka terhadap keberadaan
dirinya, orang lain, dan keseluruhan ciptaan, sebagai wujud dari pencapaian
identitas, makna, dan tujuan hidup sebagai makhluk. Komponen rasa
saling memiliki dan merasa saling terhubung, adalah sikap untuk selalu
mencari, menerima, atau terbuka terhadap pengalaman yang berhubungan dengan
interaksi dengan sesama yang mengembangkan kesadaran saling membutuhkan antar
sesama manusia, serta kesadaran saling membutuhkan dengan unsur kehidupan
lainya, seperti alam, masyarakat, nilai, dan makhluk hidup lainnya, dari
perkembangan komponen ini akan mengantarkan pada kesadaran akan kekuatan Sang
Maha Pencipta, yang akan memperteguh keyakinan yang akan diwariskan dari waktu
kewaktu. Komponen pandangan dan cara hidup, merupakan cara individu
mengekspresikan jati diri, hasrat, nilai, pengembangan hubungan dengan sesama,
aktivitas-aktivitas yang dipilih untuk membentuk diri sendiri, keluarga,
komunitas, masyarakat, dan dunia yang lebih luas, serta pandangan hidup dan pengorbanan.
Berbagai paparan
konsep mengenai spiritualitas di atas dapat dipahami bahwa spiritualitas
merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang diperlukan dalam
menjalani proses kehidupan. Spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan
proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain
dan lingkungan, serta seluruh alam semesta. Perkembangan spiritualitas juga
ditandai dengan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan sesama, dan
mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa atau kekuatan yang berada di
luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak untuk bisa mengekspresikan
identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan dengan sesama.
Perkembangan
kecerdasan spiritual akan erat kaitannya dengan perkembangan spiritual,
perkembangan penghayatan keagamaan, dan perkembangan keyakinan, serta berbagai
aspek perkembangan lainnya. Hal ini
senada dengan penjelasan Abin Syamsuddin
(2007: 105-110) yang menyatakan bahwa perkembangan perilaku keagamaan dalam
satu paket dengan perkembangan perilaku sosial dan moralitas. Bahkan,
dijelaskan bahwa perkembangan penghayatan keagamaan sejalan dengan perkembangan
moralitas dan erat kaitannya dengan perkembangan intelektual, emosional, dan volisional
(konatif). Hal ini dimungkinkan karena secara potensial (fitriah) manusia
adalah makhluk sosial (zoon politicon) dan makhluk beragama.
Kecerdasan
spiritual berkembang bersama fungsi-fungsi kehalusan perasaan (afektif)
disertai kejernihan akal budi
(kognitif). Kedua fungsi tersebut mendorong individu untuk mengalami,
mempercayai, bahkan meyakini dan menerima tanpa keraguan tentang adanya
kekuatan yang Mahaagung yang melebihi apapun termasuk dirinya. Proses inilah
yang disebut penghayatan keagamaan atau disebut juga pengalaman religi (the
religious experiences) (Tamim, 2009:70).
Perkembangan
pengahayatan keagamaan dalam sudut pandang Brigtman (Abin Syamsuddin, 2007:
108) merupakan pengakuan atas keberadaan (the excistence of great power)
dan mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang
mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.
Pendapat tersebut di atas, menegaskan bahwa
perkembangan kecerdasan spiritual sejalan dengan aspek perkembangan lainnya,
antara lain perkembangan kognitif, emosi, moral, dan penghayatan keagamaan. Hyde (Hood, Jr. et.al, 2009: 77) memaparkan bahwa untuk mengkaji perkembangan
spiritualitas dan penghayatan keagamaan harus juga mengkaji perkembangan
kognitif, “The study of religion in
childhood and adolescence has been dominated for thirty years by investigations
of the process by which religious thinking develops”. Gagasan ini
didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penghayatan keagamaan berhubungan
dengan kemampuan individu mencerna dan memaknai informasi, yang menjadi ranah
perkembangan kognitif.
Mempertegas konsep perkembangan penghayatan keagamaan, Abin Syamsuddin (2007: 109) menjelaskan bahwa secara kualitatif, karakteristik perkembangan penghayatan keagamaan masa anak sekolah, yaitu rentang 7-8 tahun sampai 11-12 tahun, ditandai dengan (1) sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertan; (2) pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya; (3) penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.
Boyatzis (Hood, Jr. et.al, 2009: 77) terkait dengan hal ini
menjelaskan dengan lebih ekstrim “Although
Piaget is no longer held on a pedestal, his influence remains considerable. For
many, it is hard to think of religious development in other than cognitive
terms”. Sekalipun teori perkembangan kognitif dari Piaget dikembang dengan
landasan yang kurang kuat, akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap
perkembangan kognitif dan aspek lainnya, bahkan untuk beberapa alasan, agak
sulit mengkaji perkembangan penghayatan keagamaan tanpa menggunakan kajian
perkembangan kognitif.
Salah satu teori perkembangan spiritual yang
dikembangkan berdasarkan pada teori Piaget digagas oleh Fowler, James W.F (Aliah, 2006:297), teori perkembangan spiritual dalam
konteks teori perkembangan Fowler dikenal dengan faith development, dipandang sebagai inti dari perkembangan
kecerdasan spiritual. Teori Fowler menjelaskan bahwa sepanjang rentang kehidupan manusia, keimanan sebagai orientasi holistik yang menunjukkan
adanya hubungan antara individu dengan alam semesta akan mengalami tahap
perkembangan (stages of faith development).
Fowler
mengkategorikan perkembangan spiritual menjadi beberapa tahapan, anak usia
sekolah dasar akan berada pada tiga tahap (rentang) usia perkembangan keimanan,
yaitu 0-7 tahun, 7-11 tahun, dan 11-20 tahun. Pada setahun awal usia anak
sekolah dasar, yaitu di usia tujuh tahun masih dikategorikan dalam tahap
praoperasional. Pada tahap ini kepercayaan (keimanan) masih bersifat
intuitif-proyektif. Ciri karakteristik keimanan masih menganggap khayalan
sebagai realitas. Berkaitan dengan hakikat kebenaran, anak pada usia ini akan
konsekuen terhadap dirinya sendiri, namun masih memperbandingkan antara sikap
percaya dan tidak percaya.
Pada
usia tujuh sampai sebelas tahun, yaitu usia yang dianggap murni pada rentang
sekolah dasar, dikategorikan dalam tahap pra sampai konkrit operasional. Pada
tahap ini kepercayaan (keimanan) bersifat Mythical-Literal. Karakteristik keimanan
merupakan hasil penerjemahaman kisah agama secara literal. Berkaitan dengan
hakikat kebenaran, anak pada usia ini meyakininya dalam wujud keadilan.
Adapun pada dua tahun terakhir usia sekolah dasar,
yaitu usia sebelas sampai dengan tiga belas tahun, dikategorikan pada rentang
sebelas sampai dengan dua puluh tahun, yaitu pada tahap formal operasional dan moralitas konvensional. Pada tahap ini,
kepercayaan (keimanan) sudah bersifat sintetik-konvensional. Biasanya, karakteristik
keimanan individu diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap kepercayaan orang
lain. Kebenaran ada pada apa yang dikatakan orang lain.
Referensi :
Abin
Syamsyudin Makmun. (2003). Psikologi
Kependidikan : Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung:Rosda.
Hurlock,
Elizabeth. (1994). Psikologi Perkembangan
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Hood,
Ralph W., C. Hill, Peter., Spilka, Bernard. (2009). The psychology of religion : an empirical approach . 4th
edition. New York: Guilford Publications, Inc.
Search Institute. (2008). Seeking
Common Ground in Understanding Spiritual Development: A
Preliminary Theoretical Framework. Online. Tersedia di : http://www.search-institute.org/csd/major-projects/definition-update
Tamim,
Daris (2009). Program bimbingan dan
konseling Untuk mengembangkan kecerdasan
spiritual Anak sekolah dasar. Tesis. Bandung : SPs Universitas
Pendidikan Indonesia (tidak diterbitkan).
Zohar, D.& Marshall, I. (2002), SQ. Memanfaatkan
Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik
dan Holistik untuk Memaknai
Kehidupan. Bandung: Penerbit
Mizan.
catatan : Silahkan bagi yang ingin mengutif tulisan saya, semoga bermanfaat.
catatan : Silahkan bagi yang ingin mengutif tulisan saya, semoga bermanfaat.
Kontributor
Pengunjung
Teman
Insight Corner
- catatan kaki (5)
- cerita cinta (1)
- counseling (13)
- Filsafat (1)
- pendidikan (5)
- research in counseling (1)
musiQu
Catatan Sahabat
Tulisan Terpilih
Blog ini adalah wahana ekpresi komunikasi dan diskusi untuk semua yang berminat di bidang pendidikan, konseling, budaya dan sosial kemasyarakatan
lelaqihoedjan. Diberdayakan oleh Blogger.
informasi yang menarik dan mendidik,makasih gan
alhamdulillah jika tulisan ini bermanfaat, salam kenal bang rofai